Mohon tunggu...
sir sutan
sir sutan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Hiking, Caving and Outdoor Sport

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Napak Tilas ke Tempat Kelahiran Bapak Republik (TAN MALAKA)

22 Juni 2022   15:18 Diperbarui: 22 Juni 2022   15:26 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum PDRI, poto diambil tahun 2013 (Dokpri)

Mama, Papa.......Aris berangkat dulu ya ma.............Assalamualaikum......

Itulah kata-kata yang aku sampaikan kepada kedua orangtua sebelum berangkat Napak Tilas.

Hari itu tepatnya senin, 10 Januari 2013, jam 07.30 WIB kulangkahkan kaki dari Kota Serang menuju kampung halamanku yaitu Provinsi yang terkenal akan kuliner rendangnya, Sumatera Barat, Ranah Minang yang terkenal dengan motto hidup masyarakatnya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 

Perjalanan menuju Sumatera Barat aku tempuh menggunakan pesawat, kalau tidak salah waktu itu jadwal pesawat jam 10.45 WIB, terminal 1B. Sekitar jam 09.00 WIB sampailah ditujuan yaitu Bandara Soekarno Hatta, terlihat disana banyak orang yang telah mengantre, mulai dari mengantre memperlihatkan bukti pembelian ticket, mengantre memasukkan barang-barang bawaan kedalam sebuah mesin X Ray dan mengantre guna mengambil boarding pass, termasuk akupun mengikuti proses tersebut karena memang itu adalah ketentuan yang wajib dijalankan oleh setiap orang yang menggunakan moda transportasi umum udara yaitu pesawat.

Aku dan para penumpang yang telah menerima boarding pass langsung menuju ruang tunggu guna menunggu kedatangan pesawat tujuan Sumatera Barat. Sekitar jam 11.15 WIB aku beserta penumpang dengan tujuan Bandara Internasional Minangkabau pun disuruh untuk menaiki pesawat.

Jam 12.30 WIB, aku telah sampai di Bandara Internasional Minangkabau, tampak jelas bagian atap bandara sengaja dibuat seperti atap Rumah Gadang yang menjadi ciri khas rumah adat Sumatera Barat. 

Kedatanganku disambut oleh kakak sepupu ku beserta suaminya, aku biasa memanggil kakak sepupu ku dengan panggilan TETA dalam kebudayaan kami di Minangkabau panggilan TETA ditujukan kepada kakak perempuan nomor dua, beliau adalah anak dari Kakak Mama ku. 

Dari bandara sebelum menuju kampung halaman yaitu Kabupaten Padang Pariaman, kami singgah terlebih dahulu untuk makan siang di rumah makan lamun ombak, tepatnya di Ulak Karang, Kota Padang. Rumah makan ini memang rami dikunjungi orang-orang karena cita rasa makanannya yang enak.

Disela-sela makan tersebut, Teta bertanya kepada ku "ado apo aris pulang kampuang?......taragak jo kampuang?" (ada apa aris pulang kampung?, kangen sama kampung?), tanya Teta kepadaku, iyo ta, selain taragak jo kampuang aris nio pai ka tampek kelahirannyo Tan Malaka di Payokumbuah (iya teta, selain kangen sama kampung, aris juga mau pergi ke tempat kelahirannya Tan Malaka di Payakumbuh), jawabku........gikolah aris, ka kampuanglah aris dulu agak sahari atau duo hari, abih tu baru aris barangkek ka Payakumbuah, bia akak antaan (ke kampunglah aris terlebih dahulu, sehari atau dua hari, abis itu biar kakak yang mengantarkan aris ke payakumbuh) timpal suami teta.......indak usah akak ma antaan aris sampai ka payakumbuah bana, bia aris naiak travel se ka payakumbuah nyo, beko di japuik samo dai nal (ngga usah kak, biarlah aris naik travel saja ke Payakumbuh, nanti biar Uda Inal yang menjemput di Payakumbuh), jawabku. 

Uda Inal adalah keponakan dari papa, tetapi aku dari kecil telah terbiasa memanggilnya dengan panggilan Uda. Setelah makan selesai kami bertiga langsung pulang menuju kampung halaman yaitu Padang Pariaman kelahiranku. 

Perjalanan dari Kota Padang ke kampung ku ditempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Indahnya kampung halaman kunikmati dengan hamparan sawah yang ditengahnya ada rumah penduduk berbentuk rumah gadang. 

Kampungku benar-benar berada diatas gunung dimana kearifan lokal masih terlihat disana, mulai dari pagi-pagi melihat masyarakat berangkat ke sawah atau ke kebunnya untuk bercocok tanam dan ketika sore mereka pulang, malamnya mereka bertukar pikiran atau bercerita ngalor ngidur di kedai yang biasa orang minang menyebutnya adalah lapau.

Perjalanan selama dua jam telah ku tempuh bersama kedua kakak ku, sesampainya dikampung, aku disambut oleh saudara-saudara dari mama ku yang memang telah lama kami tidak pernah berjumpa. 

Saling tegur sapa terjadi, mulai dari menanyakan kabar diriku dan kabar orangtuaku, kabar kakak ku serta kabar adik ku, yang aku jawab "Alhamdulillah semua keluarga yang berada di Serang semuanya sehat-sehat saja. Keasrian kampung, udara gunung yang segar menjadikan penat ku hilang selama dalam perjalanan. Disana aku masih bisa mandi di kali, dimana kali dikampung ku tersebut masih jernih dan tidak ada sama sekali yang namanya air keruh di kali tersebut.

Setelah beberapa hari aku berada dikampung halaman, tanggal 12 Januari 2013 kurang lebih pukul 13.00 WIB, aku pun berpamitan kepada sanak keluarga yang ada dikampung untuk menjalankan niatku yaitu napak tilas ke tempat kelahirannya Bapak Republik Indonesia. Kembali, kakak ku bersama suaminya mengantarkan ku ke Kota Pariaman untuk menuju travel tujuan Payakumbuh. Tarimokasih yo ta, tarimokasih yo kak........ (terimakasih ya Teta, terima kasih ya Kakak) ucapku sambil bersalaman dengan beliau berdua. Travel tujuan ke Payakumbuh yang aku naiki berangkat jam 15.00 Wib. Perjalanan dari Pariaman ke Payakumbuh ditempuh kurang lebih tiga jam. Jalan berkelok-kelokpun aku ditempuh pada saat itu, serta panorama yang indah dipinggir jalan seperti adanya air terjun di pinggir jalan dengan sebutan Air Terjun Lembah Anai.

Kurang lebih tiga jam perjalanan telah ku tempuh dengan menggunakan travel untuk sampai ke Payakumbuh, akhirnya sampai juga aku di Kota yang memang termasuk daerah dataran tinggi. Akupun dihampiri oleh Uda Inal, uda inal seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya, ia adalah keponakan dari Papa. Aku tidak langsung pulang ke rumah uda Inal, tetapi Uda Inal mengajak ku untuk mencoba minuman ciri khas Sumatera Barat yaitu Kawa Daun, Kawa adalah Bahasa Minang untuk tanaman Kopi, sedangkan Kawa Daun berarti Kopi Daun. Minuman ini unik karena daun kopi nya di rebus, entah seperti cara pembuatan awalnya yang pasti minuman Kawa Daun ini nikmat luar biasa disajikan didalam batok kelapa yang sudah dibersihkan atau dihaluskan. 

Selain menikmati Kawa Daun yang menjadi ciri khas Sumatera Barat aku pun baru merasakan minum Kawa Daun dengan cemilannya adalah ketan. Setelah lama menikmati Kawa Daun dengan ketan serta ngobrol ngalor-ngidul sama Uda Inal, kami pun pulang. 

Diperjalan Uda Inal menanyakan kepadaku maksud dan tujuanku untuk bernapak tilas ke kampungnya Bapak Republik yaitu Tan Malaka, serta meyakinkan ku karena perjalanan ke kampung Tan Malaka dari Kota Payakumbuh ke Pandam Gadang (kelahiran Tan Malaka) jaraknya puluha kilo. Aku pun menjelaskan maksud dan tujuanku untuk menyambangi desa kelahiran Tan Malaka dan aku menjawab YAKIN dengan penjelasan Uda Inal untuk menempuh kampung kelahiran Tan Malaka jaraknya puluhan kilo.

Keesokan harinya, Kamis, tepatnya tanggal 13 Januari 2013 perjalanan mulai kami lakukan. Selain aku dan Uda Inal ada pula anak dan Istrinya pun ikut. 

Dalam perjalanan aku kaget nama tokoh nasional yaitu Tan  Malaka dijadikan nama jalan di Payakumbuh. Dimana mungkin diluar Provinsi Sumatera Barat hanya nama beliau yang kita ketahui dan itu hanya beberapa kalangan saja mengetahui, tetapi untuk nama jalan, saya rasa tidak ada nama jalan Tan Malaka kecuali di Payakumbuh, Sumatera Barat. Uda Inal menjelaskan jalan Tan Malaka ini adalah jalan terpanjang di Sumatera Barat membentang sejauh hampir 50 Km, jalan yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kototinggi, tetapi juga akan mengarahkan kita menuju kampung halaman Tan Malaka yaitu Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kab. Lima Puluh Kota.

Dalam perjalanan menuju Pandam Gadang kami menempuh jalan yang memang benar-benar berkelok-kelok serta jalanan yang rusak tidak semulus jalan tol. Sekira satu jam perjalanan, aku menempuh Museum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Koto Tinggi yang dalam sejarahnya pada saat itu dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. 

Museum tersebut tampak tidak terawat, entah apa yang terjadi aku pun tidak mengetahuinya, namun di depannya ada hamparan spanduk yang bertuliskan "Pemerintah Soekarno-Hatta dapat bersemayam kembali ke Yogyakarta, yaitu oleh perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), kalau faktor ini tidak ada, mustahil Republik ini akan berdiri kembali, dan pusat PDRI ada di Kototinggi". Setelah berhenti sejenak di Museum PDRI, aku pun melanjutkan ke tempat tujuan utama yaitu Pandam Gadang.

Kurang lebih tiga jam menikmati perjalanan dari Kota Payakumbuh ke Desa Pandam Gadang, aku beserta keluarga Uda Inal sampailah ditujuan yaitu tempat kelahiran Bapak Republik yaitu Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Kami disambut oleh salah satu generasi keturunan yaitu adik dari Datuk Tan Malaka, perlu diketahui bahwa gelar Datuk di Minangkabau diberikan secara turun temurun, adapun gelar Datuk Tan Malaka pada saat aku kesana diturunkan kepada Hengky Novaron Arsil, SE, MM., poto beliau terpampang besar di rumah gadang dimana tempat Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (Bapak Republik Indonesia) dilahirkan, beliau diangkat dan diberikan gelar Datuk Tan Malaka pada tahun 2000. 

Seperti biasa kami disambut dengan hidangan Kopi Kawa yang memang menjadi ciri khas minuman Minangkabau khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota. Perbincangan tentang Kakek atau mungkin buyut nya pun mulai kami tanyakan, tidak banyak yang ia tahu, yang ia tahu dari orang-orang tua nya terdahulu adalah sosok Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah sosok yang memang taat kepada nilai-nilai agama serta kedua orangtuanya adalah sosok yang dituakan dikampung serta pemuka agama juga dilingkungan kampung tersebut.

Rasa penasaranku terhadap isi rumah gadang tempat kelahiran Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka mulai tak terbendung, obrolan singkat dan kawa daun pun belum habis ku minum, aku beserta keluarga Uda Inal langsung meminta izin untuk melihat-lihat rumah kelahiran Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Kami pun mulai melangkahkan kaki ke rumah gadang tersebut yang memang tidak jauh dari rumah salah satu adik dari Bapak Hengky Novaron Arsil, SE, MM. gelar Datuk Tan Malaka. Didampingi oleh adik dari Bapak Hengky Novaron Arsil, SE, MM. gelar Datuk Tan Malaka beliau mulai bercerita tentang properti-properti yang ada didalam rumah gadang tempat kelahiran Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, mulai dari kasur tempat beliau dilahirkan hingga ranji, silsilah keturunan Datuk Tan Malaka, buku-buku karangan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang ditulis ulang oleh Harry E Poeze. 

Dalam penuturan Adik dari keturunan Datuk Tan Malaka saat ini, banyak mahasiswa-mahasiswa yang memang sengaja kesini hanya untuk membuat sebuah tulisan ataupun tugas akhir tentang Bapak Republik Indonesia ini.

Rumah Tan Malaka (Museum & Pustaka) diresmikan oleh Direktur Nilai Sejarah yaitu Dr. Magdalia Alfian pada tahun 2008. Pada saat aku kesana tahun 2013 ada yang sangat disayangkan kepada pemerintah setempat yaitu tidak adanya perhatian terhadap Museum tersebut tampak kumuh dan banyak kotoran hewan di dalam rumah gadang tempat dimana Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka dilahirkan. Keluarga besar dari Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka pun menjelaskan seperti itu, kurang perhatian kepada Museum yang memang menjadi nilai sejarah bangsa.

Tidak lama kami disana mungkin cuma tiga puluh menit tetapi setelah itu ada beberapa hal yang aku ambil pelajaran setelah menyambangi rumah kelahiran Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka yaitu putra desa yang jauh dari harta berlimpah, hidup dalam kesederhanaan serta nilai-nilai agama, jauh dari hiruk pikuk ramainya kota pada saat itu tetapi memiliki gagasan atau ide besar tentang negara ini, Republik Indonesia. Jauh sebelum Soekarno menulis konsep atau gagasan atau ide tentang NKRI tetapi Tan Malaka seorang anak desa telah memiliki gagasan tentang Republik yang tertuang dalam bukunya Naar De Republiek Indonesia yang ditulis oleh beliau pada tahun 1925.

Rumah Tan Malaka pada tahun 2013 (Dokpri)
Rumah Tan Malaka pada tahun 2013 (Dokpri)
Kopi Kawa, minuman khas Sumatera Barat (Dokpri)
Kopi Kawa, minuman khas Sumatera Barat (Dokpri)

Museum PDRI, poto diambil tahun 2013 (Dokpri)
Museum PDRI, poto diambil tahun 2013 (Dokpri)
Jalan Tan Malaka, Poto diambil tahun 2013 (Dokpri)
Jalan Tan Malaka, Poto diambil tahun 2013 (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun