Dalam pergaulan sehari-hari dengan kawan sesekali kita ngobrol. Bincang lepas bisa punya tema bisa juga tidak. Begitu saja.
Sebagai bagian dari jeda aktifitas, kumpul-kumpul dengan kawan ini diperlukan. Aktifitas keseharian yang bertumpuk kadang bikin stres. Apalagi buat mereka yang punya aktifitas tinggi di dunia pekerjaan. Mengejar target, memaksimalkan potensi. Poin-poin ini bikin pekerja seperti di kejar-kejar, seakan bekerja di bawah tekanan.
Bekerja dibawah tekanan memang diperlukan, sebagai upaya memaksimalkan potensi.
Untuk mencapai target maksimal, lebih utama lagi melebihi target yang ada. Bekerja dibawah tekanan biasanya punya ritme yang tinggi, ada percepatan yang dilakukan. Semua terukur dan terencana secara matang. Ada target capaian yang diprioritaskan. Buat sebagian pola ini tentu membuat stres. Tapi tidak semua, sebagian lain yang sudah terbiasa bekerja terprogram dan bertarget, pola percepatan ini dianggap bagian dari mempercepat menuju titik capaian. Jadi berpulang pada individu dan budaya kerja masing-masing individu.
Nah ngobrol lepas di luar jam kerja tersebut jadi obat. Tempatnya bisa di warung kopi belakang kantor. Di warteg, warung di pinggir kali, atau dimanapun. Tidak harus di tempat-tempat bagus, asal ada lawan bicara langsung saja ngobrol.
Hanya masalahnya, warung kopi sesekali juga jadi tempat ngobrol omongan ‘berat’. Bicara politik yang sedang berkembang. Isu-isu seputar perkembangan politik lokal. Siapa yang akan jadi gubernur, bupati bahkan presiden. Kemana arah kebijakan negara, kenapa negara melakukan ini itu dan seterusnya.
Kalau sudah begini obrolan jadi sedikit serius. Semua yang terlibat, kasih pendapat plus argumen nya kadang-kadang pakai ngotot segala. Meski argumen macam-macam, tapi justru disanalah demokrasi sebenarnya. Orang bicara tanpa tekanan. Inilah inti demokrasi, di mana setiap kita berpendapat tanpa ada paksaan dan tekanan.
Tapi yang nama nya obrolan warung kopi karena tak ada moderator, kadang ngobrolnya pada main duluan. Sehingga ada yang dominan, ada yang banyak diam karena tidak kebagian porsi. Meski begitu yang penting, bisa ngomong lepas. Bisa tertawa lepas.
Dalam berargumen baik ngomong di warkop atau di forum resmi, tidak bisa dilakukan semua orang secara benar. Nalar logis itu perlu dipelajari dan dibangun secara simultan. Konstruksi tidak terbangun secara kebetulan tapi dipelajari dan dipraktekan. Ada yang bilang membangun argumen dalam perdebatan tidak perlu ‘njlimet’. Cukup dengan memahami premis-premis lawan bicara dan titik celah lawan bicara kita bisa membantah dan ‘eksis’ dengan sesuatu yang berbeda. Karena perbedaan itu sisi yang diminati banyak orang. Minimal ada info baru atau cara penyampaian baru.
Seorang pembicara yang suka berdebat umumnya mereka yang punya pengetahuan banyak, kemana aja diajak bicara ia paham. Itulah penting membaca sebagai jendela pengetahuan. Sering mendengar, melihat, dan menganalisa. Sering melatih diri, mengungkapkan banyak hal. Karena tak semua orang yang punya pengetahuan luas juga bisa menyampaikan dengan baik. Tidak semua orang yang punya pemikiran bagus bisa menyampaikan nya lagi pada yang lain dengan argumentatif. Mudah dicerna dan enak didengar.
Kemampuan bertutur yang baik, bisa dimengerti dan ‘renyah’ perlu banyak sentuhan. Kalo tadi soal membaca, membaca yang dimaksud bukan hanya bacaan ‘ilmiyah’. Tapi juga bacaan yang bersipat seni, seperti sastra dan roman. Itu yang bisa menghaluskan nalar seseorang, gaya bicara tidak kaku.
Kenapa Soekarno jago berorasi, karena beliau pemain tonil. Seni drama pentas, coba perhatikan gaya sukarno bicara layaknya seorang yang membaca puisi. Intonasi nya naik turun, ada penekanan pada hal-hal tertentu. Hingga secara keseluruhan pidato bung karno menjadi sangat menarik, dan tidak membosankan.
Dalam berdebat atau berdiskusi kita juga harus memperhatikan lawan bicara, utamakan dialogis. Untuk sampai kesana diperlukan kemampuan membaca karakter seseorang. Istilah kawan saya, observasi dulu. Tanpa kemampuan membaca lawan, amat sulit kita mencari celah. Hal yang ia tidak perhatikan. Padahal itu jadi poin penting.
Seperti yang kita lakukan saat bertanya pada sesi seminar atau kuliah misalnya, setelah kita mendengarkan, kita kan mencari celah untuk bertanya atau tidak setuju. Terhadap poin-poin yang disampaikan. Tanpa kemampuan observasi sulit sekali mencari celah. Bila tidak kita temukan celah, karena tidak fokus mendengarkan misalnya, kita kesulitan untuk bicara. Atau mengungkap sisi berbeda. Ibarat orang berdagang kita tak punya modal untuk eksis, menjual kemampuan diri.
Hal lain yang perlu diperhatikan, saat lawan bicara berargumen dengan emosi tanpa logika, obrolan dan diskusi itu tidak usah diperpanjang. Karena untuk apa berdialog dengan mereka yang punya ‘cara sendiri’ tanpa standar argumentasi logis. Perdebatan berubah menjadi obrolah tanpa arahan dan ujung. Tak ada yang bisa diambil dari proses itu. Diskusi yang dimaksudkan untuk mencari jawaban masalah, berdasarkan argumentasi yang didukung fakta terbaik berubah jadi omongan ‘ngalor ngidul’. Layaknya ngomongin ‘pepesan kosong’ orang betawi biasa mengistilahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H