Menghadapi fenomena ghaib, tidak jarang kita terbelah menjadi dua. Yang pertama percaya soal fenomena itu, yang lainnya tidak. Padahal soal ghaib bukan semata persoalan untuk dipercaya atau tidak tapi dalam hidup memang kita punya dua realitas ini.
Ghaib secara definisi sesuatu yang tidak kita ketahui kecuali ada yang mengabarkannya. Misalnya soal mahluk ghaib, dan keghaiban lainnya. Dalam tradisi timur, fenomena alam ghaib ini sudah menjadi bagian khidupan mereka. Bisa dikatakan semua kepercayaan mereka umumnya berangkat dari hal ghaib.
Pada masyarakat modern fenomena ini tidak seluruhnya habis dan hilang dari tradisi timur, seakan ia punya ruang sendiri yang selalu identik dengan tradisi kita.
Kenapa ini bisa terjadi, karena soal ghaib ini saat ditolak justru semakin menguat. Keberadaannya tidak bisa dikesampingkan. Selalu saja hadir dlm keseharian kehidupan, tidak saja buat mereka yang kita sebut belum terdidik. Dalam lingkungan intelektualpun sesekali hadir, dan mendekonstruksi bangunan rasional yang ada. Seakaan fenomena ini bukan hanya milik mereka yg kita sebut tidak terdidik. Seperti yang selama kita ketahui. Lemahnya pendidikan biasanya sebangun dengan kepercayaan pada yang gaib.
Tidak jarang kita dengar mereka yang “literate” secara pendidikan, ikut juga mendatangi dukun dan “orang pintar”. Dari mulai sekedar tanya-tanya, awalnya tidak yakin. Tapi saat intensitas pertemuan itu sering dilakukan, sedikit demi sedikit akhirnya ia percaya juga. Bahkan menjadi pendukung aktifitas para orang pintar itu. Bahkan ada yg jadi juru bicaranya, pribadinya sudah yakin lalu meyakinkan yang lain. Memberi jaminan pada yang lain soal prilaku ini.
Persoalan diatas mungkin buat kita yang tidak bersentuhan tidak terlalu penting, tapi saat diri pribadi dihadapkan pada kenyataan itu. kita tentu berpikir ulang, keraguan kita berubah jadi penerimaan. Awalnya kita tetap yakin hal itu tidak ada, tapi saat kejadian demi kejadian datang bergantian pada diri kita hal itu tidak bisa kita tolak lagi. Lalu kita menganggapnya sebagai hal biasa. Lumrah.
Bagaimana bila kita menghadapi fenomena ghaib?
Seperti yg sy jelaskan diatas soal terbelahnya dua pendapat. Umumnya keduanya dipengaruhi oleh cara pandangnya selama ini tentang dunia ghaib dan kegaiban. Buat mereka yang dididik tradisi agama yang kental, umumnya yg punya basis kultural tanah jawa, pasti menerima fenomena ini, Buat mereka ini kelajiman saja. Sebaliknya yg kultur sekitarnya dan dirinya menolak, tentu perlu penjelasan khusus tentang realita ini. Untuk sampai pada penerimaan perlu penjelasan rasional dengan intensitas yang sering juga.
Setiap manusia punya mekanisme pertahanan diri. Saat merasa terancam pertahanan dirinya secara otomatis akan melawan. Bentuknya meanisme itu berbentuk pisik dan psikis. Buat mereka yang punya kemampuan ‘membaca’ dengan mata batin, tentu sadar bila ada yg terjadi secara tidak wajar dan normal.
Buat mereka yang beragama tentu punya benteng pertahanan batin itu. kalo dikalangan tradisional biasa disebut hizb, wirid, manaqib dan ratib. Baca-bacaan ini berisi sholawat, puji-pujian, dll. Bacaan ini dilakukan sebagai bentuk upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pandangan tradisional, mereka yang batinnya tersambung dengan-Nya saat ada pihak lain yang ingin mencelakai nya, bacaan itu menjadi perisai dan penghalang. Hal ini tentu berpulang pada kepercayaan dirinya kaitannya dengan dunia ghaib.
Para Sufi menyebut saat batin kita berhubungan dengan-Nya tak ada kekuatan lain yang bisa mengganggunya apalagi menyakitinya. Ini yang disebut “eling”/ ingat.