Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguatkan Sentralitas ASEAN dan Diplomasi "Naval" atas Overlapping Klaim LCS

1 Juni 2024   00:18 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:18 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Cina Selatan. (Sumber: The New York Times).

Sebanyak 40.000 kapal melintas setiap tahun, memiliki 250 pulau dan terumbu karang, dikelilingi sepuluh negara pantai, menjadi jalur tersibuk kedua di dunia dan dijuluki maritime superhighway adalah gambaran kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Namun, kondisi di kawasan itu menjadi sengketa saat munculnya tumpang tindih klaim atas wilayah kelautan, terutama klaim Tiongkok yakni Nine Dash Line.

Secara sepihak dan merujuk historis traditional fishing ground sepanjang 94.000 Kilometer persegi, membuat Tiongkok sebagai major claimant state harus berhadapan dengan lima negara pantai yang masing-masing punya alasan klaim atas wilayah di LCS, yaitu Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Taiwan. Indonesia tidak memiliki klaim atas wilayah LCS, tetapi menjaga yurisdiksi perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kepulauan Natuna Utara, yang mengubah peta konflik LCS ketika kapal-kapal Tiongkok melakukan IUU Fishing di sana.

Sebuah studi alumni Universitas Pertahanan mengemukakan perseteruan Indonesia-Tiongkok terjadi sejak 2013. Diawali oleh nelayan Tiongkok masuk ke perairan Natuna dan penangkapan ikan ilegal sampai patroli coast guard di ZEE Indonesia karena termasuk wilayah Nine Dash Line. Hal ini membuat Pemerintah Indonesia perlu menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara.

Ketegangan tujuh negara di LCS tidak lepas dari pengaruh ekstra-regional, aliansi Quadrilateral Security Dialogue (Quad) yang diusung Amerika Serikat, India, Australia dan Jepang untuk kawasan Indo-Pasifik sebagai penantang Cina. Dalam kacamata politik global, negara major power Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) sedang berseteru dengan show of force di LCS. 7 April lalu, AS, Filipina, Australia dan Jepang melakukan operasi militer gabungan angkatan laut dan angkatan udara. AS memiliki agenda besar melalui angkatan laut dengan kebebasan navigasi (freedom of navigation) melawan klaim Nine Dash Line.

Sementara itu, Tiongkok tidak mau kalah juga menyelenggarakan patroli militer di hari yang sama. Kepulauan Spratly menjadi klaim Tiongkok yang juga diperebutkan Filipina, sekutu AS. Dua negara ini merepresentasikan eskalasi konflik AS-Tiongkok beradu kekuatan menguasai LCS. The New York Times mencatat Tiongkok selama 3 tahun terakhir memperluas jangkauan patroli militernya dan membangun pangkalan militer di Spratly.

Di sisi lain, mengatasi overlapping klaim LCS sudah lama menjadi pembahasan ASEAN pada tahun 2002 dengan Declaration of Conduct of Parties on South China Sea. Namun, itu tidak menjadi penyelesaian akhir. Diplomasi Asian way --mengedepankan budaya ketika konflik-- juga belum berhasil menjaga stabilitas laut. Kemudian, upaya apa yang diperlukan untuk membendung prahara di LCS yang mengancam kedaulatan Indonesia?

Ruh Kepemimpinan ASEAN

Tantangan ASEAN menghadapi konflik Laut Cina Selatan semakin runyam, ketika peran ASEAN sebagai fasilitator mulai ditinggal oleh negara-negara anggotanya. Kawasan LCS menjadi satu lokasi strategis Tiongkok mempengaruhi kebijakan luar negeri anggota ASEAN. Dari Studi jurnal Harmony, kebulatan suara negara-negara ASEAN dalam prahara ini belum bisa tercapai karena dua hal: persepsi ancaman dan keuntungan ekonomi dari Tiongkok.

Tentu bukan hal mudah mengonsolidasikan keputusan kolektif, maka peran Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN berguna untuk menjembatani resolusi konflik (non-claimant honest broker). Selain itu, kepemimpinan de facto Indonesia seharusnya mampu mengupayakan agar negara-negara ASEAN dapat bekerja sama dan menjaga stabilitas demi perdamaian regional Asia Tenggara.

Hubungan ASEAN-Tiongkok patut dibangun kembali dengan keseimbangan koalisi anggota ASEAN menanggapi konflik LCS. Sebab, Tiongkok menggunakan cara hubungan bilateral antara negara penuntut klaim ketimbang ASEAN. Apa yang dilakukan Tiongkok membuat melemah kekuatan ASEAN. Selain itu, Belt and Road Initiative (BRI) sebagai ambisi negara tirai bambu ini memperkuat ekonomi mereka melalui jalur sutra baru, yang menandakan ekspansi ekonomi Tiongkok di Asia Tenggara membuat ASEAN berhati-hati.

ASEAN tidak hanya berhadapan dengan Tiongkok saja, major power AS bersama Quad menghasilkan respons ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) agar mempertegas kekuatan ASEAN atas kawasan regional dari pengaruh Barat. Peran ini yang mengubah peta kekuatan regional semakin terpimpin, termasuk dalam hal ekonomi dan maritim. Namun, terlepas dari penguatan antar bilateral dan multilateral, Indonesia tidak boleh lengah dan tetap memainkan peran sebagai fasilitator sentralitas ASEAN.

Di bidang ekonomi, Indonesia-Tiongkok melalui BRI bisa berdampak dependensi pada negara Panda. Merujuk BRIN, perdagangan Indonesia meroket pada 2022 sebesar 113 miliar dollar AS dalam satu dasawarsa terakhir. Tak hanya itu, investasi BRI menggenjot nilai ekspor dan neraca perdagangan menjadikan Indonesia negara penerima investasi terbesar kedua dari Tiongkok.

Naval Diplomacy Sebagai Penggertak

Indonesia selalu berada di jalan kebijakan luar negeri bebas aktif, yurisdiksi laut natuna utara merupakan benteng terakhir menjaga kedaulatan maritim RI. Dalam mengatasi two level game Tiongkok terhadap LCS, klaim sepihak tentu ditolak karena tidak sesuai dengan hukum kelautan (UNCLOS 1982). Artinya, Indonesia mesti menyeimbangkan kepentingan negara di antara AS-Tiongkok.

Salah satu caranya adalah Diplomasi, kunci keberhasilan para pendahulu untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia. Di 2021, AS mengirimkan dua kapal induk (USS Theodore & USS Nimitz) mengangkut 120 pesawat tempur, dua kapal penjelajah dan dua kapal perusak ke kawasan Indo-Pasifik. Sementara di pangkalan militer Tiongkok, pemerintah Beijing fokus pada penangkal nuklir lintas laut.

Pulau Hainan menjadi tempat operasi Beijing mengembangkan kapal selam (submarine) rudal balistik dengan kekuatan nuklir. Hal ini yang memungkinkan ketengangan dua major power semakin memuncak di dunia multipolar. Untuk itu, upaya Indonesia untuk membendung dalam rangka menjaga pertahanan dan kedaulatan adalah dengan diplomasi "Naval".

Kekuatan laut bukan semata-mata untuk militer, tetapi misi diplomatik dan pembentukan kebijakan (policing). Secara konsep, diplomasi "naval" merupakan cara yang melibatkan aktor non-negara dalam proses diplomasi dan negosiasi di wilayah kelautan. Operasionalisasi konsep ini membutuhkan kehadiran angkatan laut yang bisa melakukan tiga peran: koersif, citra kuat dan membentuk koalisi.

Penelitian dari mahasiswa Universitas Indonesia menguraikan bahwa diplomasi "naval" yang dilakukan Indonesia pada 2020 bersifat defensif karena keterlibatan untuk konflik terbuka akan menguras biaya negara. Lebih lanjut, diplomasi "naval" pada 2020 masih mengesankan wajah militer yang agresif sehingga tidak efektif menjalankan peran naval diplomacy. 

Untuk mencapai keterlibatan aktor non-negara, orang-orang Indonesia di laut Natuna Utara perlu meramaikan wilayah maritim ZEE sebagai wujud penjagaan yurisdiksi dan aktivasi nelayan lokal. Selain itu, pelatihan militer AL dan AU bisa jadi penggertak agar senantiasa kapal penjaga pantai Tiongkok tunduk terhadap yurisdiksi yang dimiliki Indonesia. Usaha yang tidak mudah apalagi untuk menimbulkan koersif, mengingat militer yang tidak sebanding Tiongkok dan dependensi ekonomi.

Dari penjelasan tersebut, meramaikan laut Natuna Utara sebagai eksplorasi dan memanfaatkan sumber daya laut sebagaimana diamanatkan dalam pasal 77 UNCLOS 1982 supaya tidak diklaim negara tetangga. Hal ini juga perlu diawasi oleh TNI AL dan Badan Keamanan Laut RI agar tegas menindak IUU Fishing di ZEE Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun