ASEAN tidak hanya berhadapan dengan Tiongkok saja, major power AS bersama Quad menghasilkan respons ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) agar mempertegas kekuatan ASEAN atas kawasan regional dari pengaruh Barat. Peran ini yang mengubah peta kekuatan regional semakin terpimpin, termasuk dalam hal ekonomi dan maritim. Namun, terlepas dari penguatan antar bilateral dan multilateral, Indonesia tidak boleh lengah dan tetap memainkan peran sebagai fasilitator sentralitas ASEAN.
Di bidang ekonomi, Indonesia-Tiongkok melalui BRI bisa berdampak dependensi pada negara Panda. Merujuk BRIN, perdagangan Indonesia meroket pada 2022 sebesar 113 miliar dollar AS dalam satu dasawarsa terakhir. Tak hanya itu, investasi BRI menggenjot nilai ekspor dan neraca perdagangan menjadikan Indonesia negara penerima investasi terbesar kedua dari Tiongkok.
Naval Diplomacy Sebagai Penggertak
Indonesia selalu berada di jalan kebijakan luar negeri bebas aktif, yurisdiksi laut natuna utara merupakan benteng terakhir menjaga kedaulatan maritim RI. Dalam mengatasi two level game Tiongkok terhadap LCS, klaim sepihak tentu ditolak karena tidak sesuai dengan hukum kelautan (UNCLOS 1982). Artinya, Indonesia mesti menyeimbangkan kepentingan negara di antara AS-Tiongkok.
Salah satu caranya adalah Diplomasi, kunci keberhasilan para pendahulu untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia. Di 2021, AS mengirimkan dua kapal induk (USS Theodore & USS Nimitz) mengangkut 120 pesawat tempur, dua kapal penjelajah dan dua kapal perusak ke kawasan Indo-Pasifik. Sementara di pangkalan militer Tiongkok, pemerintah Beijing fokus pada penangkal nuklir lintas laut.
Pulau Hainan menjadi tempat operasi Beijing mengembangkan kapal selam (submarine) rudal balistik dengan kekuatan nuklir. Hal ini yang memungkinkan ketengangan dua major power semakin memuncak di dunia multipolar. Untuk itu, upaya Indonesia untuk membendung dalam rangka menjaga pertahanan dan kedaulatan adalah dengan diplomasi "Naval".
Kekuatan laut bukan semata-mata untuk militer, tetapi misi diplomatik dan pembentukan kebijakan (policing). Secara konsep, diplomasi "naval" merupakan cara yang melibatkan aktor non-negara dalam proses diplomasi dan negosiasi di wilayah kelautan. Operasionalisasi konsep ini membutuhkan kehadiran angkatan laut yang bisa melakukan tiga peran: koersif, citra kuat dan membentuk koalisi.
Penelitian dari mahasiswa Universitas Indonesia menguraikan bahwa diplomasi "naval" yang dilakukan Indonesia pada 2020 bersifat defensif karena keterlibatan untuk konflik terbuka akan menguras biaya negara. Lebih lanjut, diplomasi "naval" pada 2020 masih mengesankan wajah militer yang agresif sehingga tidak efektif menjalankan peran naval diplomacy.Â
Untuk mencapai keterlibatan aktor non-negara, orang-orang Indonesia di laut Natuna Utara perlu meramaikan wilayah maritim ZEE sebagai wujud penjagaan yurisdiksi dan aktivasi nelayan lokal. Selain itu, pelatihan militer AL dan AU bisa jadi penggertak agar senantiasa kapal penjaga pantai Tiongkok tunduk terhadap yurisdiksi yang dimiliki Indonesia. Usaha yang tidak mudah apalagi untuk menimbulkan koersif, mengingat militer yang tidak sebanding Tiongkok dan dependensi ekonomi.
Dari penjelasan tersebut, meramaikan laut Natuna Utara sebagai eksplorasi dan memanfaatkan sumber daya laut sebagaimana diamanatkan dalam pasal 77 UNCLOS 1982 supaya tidak diklaim negara tetangga. Hal ini juga perlu diawasi oleh TNI AL dan Badan Keamanan Laut RI agar tegas menindak IUUÂ Fishing di ZEE Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H