Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Puasa yang Harus Dilakukan Selain Menahan Nafsu

25 Maret 2023   16:23 Diperbarui: 25 Maret 2023   16:25 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye "Diam memperbolehkan kekerasan" (Anete Lusina/Pexels)

Masuknya kalender Hijriyah ke Bulan Ramadan mewajibkan para muslim yang mukallaf (baligh dan berakal) untuk berpuasa. Puasa yang diartikan sebagai menahan diri, baik dari rasa lapar, hawa nafsu, berhubungan badan dengan pasangan. Lebih dari itu, puasa harus dipahami menahan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang.

Slogan 'lawan hawa nafsu' sampai 'hindari yang dimakruhkan' menjadi hal yang tidak asing di telinga kita. Namun, puasa tidak sempit dan terbatas di bulan Ramadan saja, dalam konteks sosial yang seharusnya kita perangi adalah sesuatu yang langgeng (status quo) dan tidak dibenahi oleh kita semua. Kita sadar akan hal itu, namun gamang mau berbuat apa.

Jika kita menganggap diri sebagai seorang yang mukallaf, pastikan kita sadar dan bisa berpuasa melakukan hal-hal yang melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), di antaranya:

1. Puasa Korupsi

Dalam dokumen Corruption Perceptions Index 2022 yang diteliti oleh Transparancy International Indonesia (TII), negara Indonesia mendekati negara terkorup di dunia. Dari 180 negara yang diteliti dengan 180 nilai, Indonesia mendapat skor 34, yang berarti jauh dari kata bersih seperti Denmark dengan skor 90.

Hingga akhirnya, Indonesia berada di posisi ke-110 dari 180 negara yang diteliti. Dari dokumen itu juga, negara-negara Barat dan Eropa menjadi kawasan dengan korupsi terendah dan belahan Afrika sub-Sahara menjadi wilayah dengan korupsi tertinggi.

2. Puasa Pelanggaran HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) melihat negara telah mengalami banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan. Dari data Kontras Juni 2021-Mei 2022, ditemukan setidaknya 50 kasus penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia.

Data tersebut mungkin tidak sebanding dengan kasus riil di lapangan, bisa jadi lebih besar dari temuan Kontras. Adapun 50 kasus yang tercatat oleh Kontras masih ada keterlibatan kepolisian sebagai aktor-aktor penyiksaan, yaitu 31 kasus. Kemudian yang berhubungan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebanyak 13 kasus dan sipir sejumlah 6 kasus. Dan setelah ini pun, Kontras mencatat data-data pelanggaran HAM di Papua, kebebasan sipil dan kejanggalan di kegiatan G20.

3. Puasa Diskriminasi

Menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Litbang Kompas mendapatkan sebanyak 27,8 persen responden pernah mengalami, mendengar, menyaksikan perbedaan perlakuan atau diskriminasi ketika menghadapi aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, hakim dan advokat.

Diskriminasi di ruang lingku apa pun selalu terjadi, meskipun tidak terjadi eskalasi yang signifikan. Perbedaan yang tampak jelas adalah melihat dari kelas ekonomi dan masing-masing etnis. Hal ini yang tetap menimbulkan konflik dan polarisasi persatuan.

4. Puasa Kekerasan Seksual

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas perempuan dari 2010 -- 2022 mendapatkan angka laporan kekerasan yang sangat besar, yaitu 49.762 kasus. Selama 10 tahun tersebut, kekerasan seksual menjadi kasus yang selalu aktual dan sulit untuk dilawan, karena relasi kuasa pelaku yang mendominasi korban.

Lalu, Komnas Perempuan sedari Januari -- November 2022 telah menerima 3.104 kasus kekerasan berbasis gender yang meliputi 860 kasus di ranah publik atau komunitas dan 899 kaus di ranah personal. Jumlah tersebut terus bertambah dengan adanya pengaduan ke pihak berwenang, seperti lembaga pengada layanan yang dikelola oleh masyarakat sipil dan UPTD Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Kendati begitu, puasa dalam konteks agama memang urusan pribadi dan Tuhan, maka disebut dengan ibadah tersembunyi. Oleh karena itu, puasa sosial juga diperlukan dalam menghadapi  pelanggaran moral dan agama yang terus merusak. Berpikir lebih jauh lagi, setiap dari kita perlu berpuasa melawan perilaku buruk dan keji, yang bahkan kita selalu mendapatkan nasihat serupa di bulan suci Ramadan.

Selamat menunaikan ibadah puasa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun