Awal Bulan Maret kemarin, gerakan Global Climate Strike (GCS) sudah melancarkan aksi di beberapa kota Indonesia dan akan terus berlanjut hingga 8 Maret nanti di Kutai Timur. Gerakan di 13 kota serentak dilakukan pada 3 Maret kemarin, GCS mengajak anak muda untuk sadar akan lingkungan dan darurat iklim.
GSC yang tergabung 71 komunitas, pergerakan, organisasi dan lembaga ini merupakan hasil suara anak-anak muda yang inisiatif dan kritis terhadap krisis iklim. Menurut GCS, banyak dari politisi dan partai politik yang mengampanyekan lingkungan hijau palsu dan seakan-akan menjadi perhatian intensif mereka.
Dalam siaran persnya, GCS mengungkapkan bahwa tahun ini merupakan tahun pertaruhan anak-anak muda agar terus menyadarkan para politikus memperhatikan keadaan iklim Indonesia.Â
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Januari-Februari 2023, terdapat 152 bencana alam akibat perubahan iklim.
Di antara bencana yang sering terjadi berupa banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem dan kebakaran hutan. Selain itu, apa yang dikaji GCS dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan potensi terjadinya kekeringan serius di beberapa wilayah Indonesia, terutama daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal ini dikarenakan pernyataan World Meterological Organizations (WMO) tentang kenaikan suhu bumi yang mencapai 1.2 C dan sudah menjadi tahun-tahun terpanas sejak delapan tahun terakhir.Â
Tentu ini berdampak pada seluruh sektor kehidupan masyarakat Indonesia, dan menimbulkan katastrofe atau bencana besar, seperti gagal panen, penyebaran wabah penyakit, konflik sosial meningkat, dan kekerasan seksual.
Inilah acuan GCS yang menjadikan kondisi genting tidak bisa dibiarkan. Krisis iklim tidak hanya merugikan alam dan manusia, namun rasa kemanusiaan juga terdampak. Sebagaimana yang dikatakan salah satu aktivis mahasiswa UI, Adrian Al-Farisi mengenai rasa empati dan aksi iklim nyata yang perlu digaungkan oleh generasi muda sebagai pemimpin selanjutnya.
Sementara itu, hasil riset Indikator Politik dan Yayasan Indonesia Cerah pada Oktober 2021 lalu, menemukan sekitar 82 persen generasi muda sadar tentang perubahan iklim. Setidaknya, 4 dari 5 pemuda merasa jika pemerintah belum intensif mengendalikan perubahan iklim.Â
Lebih lanjut, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan survei yang mendapati ukuran pemilih berumur 17 - 39 tahun diperkirakan mendekati 60 persen dari generasi Z (17-23 tahun) dan generasi millenial (24-39 tahun). Artinya, suara Gen Z dan Millennial akan lebih banyak dalam memilih pemimpin baru nantinya.
Iklim Indonesia kian hari semakin rentan oleh megaproyek pembangunan yang cepat, hingga kerusakan lingkungan benar-benar terlihat. Kebijakan yang diproduksi pemerintah kontraproduktif dari aksi iklim yang disuarakan. Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang malah memperpanjang energi batu bara dengan turunan batu bara sebagai solusi.
Mari amati pasal 9 ayat (1) RUU EBT yang berbunyi "Sumber Energi Baru terdiri atas nuklir; hidrogen; gas metana batu bara (coal bed methane); batubara tercairkan (coal liquefaction); Â batu bara tergaskan (coal gasification); dan Sumber Energi Baru lainnya".
Padahal hasil riset Indonesian Centre For Enviromental Law (ICEL) dari laman resmi CNN, mengatakan gasifikasi batubara sebagai pembangkit listrik malah menghasilkan CO2 dua kali lipat daripada gas alam.
Terlepas dari kebijakan tersebut, permasalahan pembangunan juga perlu menyertai peran masyarakat adat. Pendiri Papua Trada Sampah, Dina Danomira mendesak pentingnya rekognisi (penghargaan) masyarakat adat karena garda terdepan yang menjaga alam Indonesia. Dikarenakan ruang aman bagi masyarakat membantu penjagaan kelestarian alam sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H