Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sistem Proporsional Tertutup, Apakah Pemilu Lebih Efisien?

2 Maret 2023   01:26 Diperbarui: 2 Maret 2023   01:29 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun 2022, dinamika politik Indonesia penuh kontroversi tentang bagaimana Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan pada 2024. Perdebatan yang menyinggung partisan politik, partai politik, dan pengamat politik diawali oleh pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari tentang pernyataan sistem proporsional tertutup.

Pendapatnya menuai polemik dan pembahasan populer masyarakat dalam memilih Calon Legislatif (Caleg) 2024 nanti. Apa yang ia lontarkan dengan posisi Ketua KPU memiliki alasan yang jelas. Dikutip dari kompas.com, Hasyim memang mengaku pembahasan UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu perlu dibahas, salah satunya sistem proporsional tertutup. Ia menyatakan dengan sistem ini, penyelenggaraan Pemilu lebih efisien dan membantu KPU melaksanakan amanatnya.

Sebagai representasi KPU, Hasyim menjelaskan kalau surat suara dalam sistem proporsional tertutup lebih simpel dan mengurangi biaya cetak surat suara. Padahal apa ia katakan dengan posisinya sekarang melanggar kode etik pasal 8 huruf c peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Ringkasnya, ia beralasan untuk mensosialisasikan tahapan Pemilu.

Alasan kedua, dari cnnindonesia.com, Hasyim menyoal sistem ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi (MK) banyak melakukan sidang dari pemohon tentang pasal sistem proporsional tertutup. Sehingga, menurutnya wajib menyampaikan kepada publik. Adapun pasal tersebut, pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 berbunyi "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka".

Silang Pendapat Sistem Pemilu Ideal

Sistem pemilu Indonesia mengalami perubahan sejak 2004 lalu, di mana sistem proporsional tertutup digantikan oleh sistem proporsional terbuka dengan hadirnya pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian, berubah lagi dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan berakhir pada Putusan MK No. 22-24/PUU/VI/2008 yang menetapkan sistem proporsional terbuka.

Berdasarkan pemberlakuan sistem proporsional tertutup sedari Pemilu 1955, Orde Baru dan 1999 meninggalkan jejak kelam nepotisme internal partai politik dan kekuasaan dominan lembaga eksekutif. Sementara, sistem proporsional tertutup adalah sistem perwakilan berimbang memilih partai secara keseluruhan dan tidak langsung memilih calon anggota legislatif.

Mudahnya, saat memilih, surat suara hanya berisi logo partai politik tanpa ada nama yang dicalonkan. Setelah itu, nama-nama calon yang diatur secara berurutan oleh partai politik akan mendapatkan kursi parlemen, dan yang menentukan calon masuk parlemen adalah nomor urut teratas sesuai jatah yang didapatkan partai politik.

Lebih lanjut, sistem ini ditolak oleh 8 fraksi partai politik yang duduk di DPR RI , kecuali PDI-P. Dari laman resmi MPR RI, partai-partai tersebut sepakat jika sistem proporsional terbuka masih bernilai demokrasi dan kedaulatan dari rakyat. Artinya, memberikan kejelasan siapa yang akan duduk di kursi parlemen nantinya. Mengambil perkataan Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid apabila tertutup seperti "membeli kucing dalam karung".

Lembaga legislatif, DPR dan MPR juga mengatakan agar KPU supaya fokus dalam menyelenggarakan Pemilu dan tidak terbawa oleh wacana-wacana yang muncul. Hal ini diperkuat mereka dengan asas persumption of constitutionality, bahwa suatu aturan UU adalah konstitusional selama MK tidak memutuskan sebaliknya.

Di sisi lain, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam siaran persnya menyatakan agar mendapatkan jalan tengah dari wacana sistem pemilu 2024. Narasi yang diusung berharap MK sebagai negarawan mampu memikirkan secara cerdas dan bijak agar melahirkan wakil-wakil rakyat berkualitas. Hal ini ditentukan dari putusan MK menyelesaikan polemik wacana tersebut.

Tidak seperti BPHN yang cenderung netral, NGO bernamakan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam siaran pers menolak wacana sistem tertutup dan menyoal pernyataan ketua KPU. Menurut ICW, sistem ini tidak akan mengubah fenomena politik uang, namun memindahkan dari calon ke partai politik.

Hal ini berbanding terbalik dari pendapat Ormas Muhammadiyah, dari muhammadiyah.or.id, pandangan mereka mengenai sistem terbuka akan melahirkan suasana demokrasi yang pragmatis, tidak sehat, permainan politik uang dan politik identitas. Para Caleg hanya mengandalkan elektabilitas, tidak berdasarkan asas meritrokrasi, kapabilitas dan profesionalisme.

Dari penjelasan di atas, argumen yang dibawakan terlihat menggunakan pendekatan filosofis dan sosiologis saja. Dan, kurang penjelasan tentang teknis bagaimana KPU menyelenggarakan Pemilu lebih efisien.

Menakar Pendapat Pengamat Politik UGM

Dari ungkapan ketua KPU "membantu efisiensi kerja KPU" dengan sistem proporsional tertutup, masih sedikit orang yang memahami konteks ucapan tersebut. Menariknya, jika penerapan sistem ini diberlakukan, apakah KPU bisa lebih mudah dan cermat menyelenggarakan Pemilu?

Wacana ini memunculkan komentar Pengamat Politik UGM, Mada Sukmajati dalam laman resmi UGM, mengutarakan sistem proporsional tertutup cocok dengan dilakukan pada Pemilu legislatif 2024. Mada memiliki alasan mendukung sistem tersebut karena sederhana dari sudut pandang pemilih.

Sistem ini memiliki prinsip yang harus dipenuhi, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Selain itu, dalam teknisnya, penyelenggara Pemilu akan lebih ringan secara rekapitulasi menghitung suara. Dalam memastikan tiga prinsip terealisasi, bisa diatur oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dengan mewajibkan partai politik membuat berita acara selama proses pencalonan.

Argumen yang ia kemukakan tentu akan menghadapi banyak kendala karena proses transisi jika sistem berubah. Padahal teknis sistem tertutup maupun terbuka, para calon tetap ditentukan oleh partai politik, meskipun banyak terlihat lebih mengunggulkan aktor politik daripada perwakilan partai politik.

Namun begitu, kedua sistem ini tetap menjadi bagian dari dinamika terselenggaranya Pemilu dan hadirnya anggota legislatif di parlemen. Argumen pengamat UGM sekiranya bisa menjadi pertimbangan kembali, mengingat untuk kemudahan dan efisiensi KPU secara teknis bisa lebih intensif. Semoga.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun