Saat pertama kali perkumpulan itu, aku teringat kamu yang bertanya-tanya layaknya wartawan.
Selepas itu, aku masih baik-baik saja. Tiga tahun hampir selesai, malah membayangi kejadian dulu.
Iya, aku muak ocehan kawan-kawanku dengan kisah romansa mereka. Ku mulai memberanikan diri.
Meminta kontak, mencari topik dan mulai mendekat. Semakinku lepas perasaan ini padamu, kau semakin menjauh di atas awan, meskipun kau bukan layang-layang.
Aku tidak paham, sebulan berjalan menjadi terasa sakit. Apakah karena malam itu yang tiba-tiba aku menyatakan perasaan, lalu pagi hari kau tolak begitu saja.
Rupanya, aku terburu-buru memutuskan hal itu. Entah banteng pun sepeti itu, menyuruduk kain merah dan menjadi partai merah terbesar saat ini.
Tapi aku memahami konsep waktu pemulihan, yang kau katakan sulit melepaskan masa lalu. Padahal, sejatinya manusia terbentuk dari proses masa lampau, mungkin kau tertinggal.
Tidak ada perkembangan hasratku pada wanita selain dirimu, agak aneh pada diri sendiri menunggu cinta sejati.
Beberapa hari lalu, kita seharusnya bertemu. Di stasiun itu dengan konsep sedemikian rupa, ternyata gagal oleh ujian remedialmu di tanggal itu.
Tidak apa-apa, aku akan tetap menunggu di terminal yang sama. Terminal hatimu yang jauh dari jalan perasaanku. Di lain waktu, aku akan menumpangi bus kekosonganmu dan kau menjadi sopir yang mengontrol emosiku.
Lagi-lagi tidak, kau sudah berubah menjadi preman di terminal itu. Menagih uang pangkal mewujudkan kebahagiaanmu. Responmu berbeda setelah pulih seutuhnya, kau tidak butuh aku menggapai cita-citamu.
Yang kau cari hanya produser dan sutradara atas perilaku premanmu, kau tidak akan pernah seperti preman pensiun di televisi.
Uang, jabatan, dan kedudukan saja aku tak punya, memang begini kesedihanku yang tertolak cintamu.
Aku sudah berusaha, menulis, menghubungimu dan mendengar keluhanmu. Seumpamanya aku kalah dari lelaki lain, tentu saja.
Begitu pesimis diriku mengusahakanmu. Tidak ada cinta tanpa materi, dan seharian makan ikan Teri.
Sekiranya aku akan membuang perasaan ini, kemana TPA yang layak untuk membawa sisa-sisa kesialan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H