Jurnalisme seperti ini menyadarkan warga agar memiliki perhatian pada isu, dikarenakan insan pers memiliki hak bebas menulis berita tanpa takut ancaman dan pembredelan. Secara esensial, independen jurnalis adalah interdependen (saling bergantungan) pada narasumber dan perubahan yang lebih baik.
Coba kita teliti, jika seorang jurnalis mengangkat isu korupsi yang ia garap dengan investigasi, ia harus membuka berbagai data, dokumen dan jejak uang tersebut. Kemudian, mewawancarai berbagai pihak yang berkaitan, ia menyimpulkan hipotesis dalam bentuk berita.
Lalu, berita tersebar dan orang-orang sadar atas buruknya sistem pemerintahan dan selesai. Dalam independen yang ia lakoni, merawat isu tersebut harus diupayakan agar mengetahui tindak lanjut bagaimana korupsi itu diselesaikan. Ini yang dinamakan saling bergantung pada perubahan pemerintah selanjutnya.
Namun begitu, era pers terus menyurut oleh adanya disrupsi informasi. Orang-orang saat ini lebih menyukai konten satu menit oleh para kreator, mereka mereproduksi, menanggapi dan tidak ada verifikasi pada narasumber.
Apalagi melihat Sumber Daya Manusia (SDM) yang malas membaca tulisan panjang, dan lebih tertarik pada berita di sosial media dengan dengan judul pendek juga caption singkat. Apa yang didapatkan pembaca adalah kesimpulan yang statis.
Insan pers yang dipercaya sebagai instrumen kontrol sosial harus menghadapi tantangan ini. Informasi yang cepat tersebar tanpa ada verifikasi kedua belah pihak (cover both side) menjadi konsumsi informasi yang bias. Sudah jutaan informasi tersebar dan tidak memiliki kebenaran, bisa terjatuh memakan hoaks.
Era disrupsi akan terus terjadi, peran pers harus tetap pada kode etiknya. Pers juga harus menyesuaikan perkembangan teknologi, orang-orang lebih suka pada visualisasi daripada narasi. Karena muak melihat banyaknya hoaks dan informasi yang tidak jelas, mereka lebih mencari informasi visual agar lebih mudah memahami, jelas dan pasti.
Namun tetap visual memiliki informasi terbatas daripada informasi, seperti kejadian gempa suatu wilayah, pasti ada perbedaan informasi berapa jumlah korban dan penyebabnya. Itu wajar, yang tidak wajar adalah media yang mem-viralkan dengan melebih-lebihkan.
Demikian, insan pers perlu pada prinsip kode etik dan memikirkan bagaimana perkembangan teknologi dan menghadapinya. Semoga pers terus bisa merepresentasikan demokrasi dan informasi kredibel bagi pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H