Fenomena ini mulai dikenal pada tahun 2013, yang sebelumnya pada 1990-an, ahli bedah Skotlandia, Robert Smith pernah mengamputasi kaki dua pasien atas kehendak mereka. Masing-masing pasien membayar sekitar $6.000 atau Rp 90 juta serta melibatkan layanan kesehatan nasional.
Orang-orang transable cenderung menjauhkan diri mereka dari publik, dikarenakan kaum trans selalu mendapatkan stigma negatif, seperti orang yang tidak jujur, orang yang tidak memiliki kehormatan, memuja dan mendramatisi atas kecacatannya sehingga mereka merasa dihakimi dan dirugikan.
Disforia Terhadap Kelompok Transable
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, kelompok transable memperlakukan dirinya untuk dilukai dan dihancurkan sebab masalah neurologis. Dari pendapat berbeda, ada yang dinamakan dysphoria yang merupakan gejala penyakit mental, ketika seseorang merasa dirinya tidak bahagia dan tak memiliki harapan.
Melansir alodokter.com, manusia sering terserang oleh gangguan psikologis, orang-orang yang tergolong gender dysphoria merasa ada ketikdacocokan atas jenis kelamin dan identitas gender. Seringkali dialami oleh para transgender.
Hal serupa ini dialami para transable, dimana mereka tidak bahagia atas tubuh yang dimiliki karena ketidak-ideal pada tubuh yang di inginkan. Sehingga dalam akal pikiran mereka dipenuhi hal negatif dan tidak masuk akal.
Mereka mencari kepuasan diri dan perasaan menyenangkan. Hal ini berbanding terbalik dari euphoria senyatanya. Tidaklah baik merusak tubuh yang sehat dan sempurna, selayaknya manusia menghargai penciptaan Sang Maha Kuasa dengan merawat bukan merusaknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H