Bukan hanya rokok konvensional yang ramai di framing media dan berpotensi menyudutkan presiden kita, Jokowi. Sebab, mengutip Kompas.com, usulan rokok tidak boleh diketeng sudah sejak 2021 oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Univesitas Indonesia. Dan bertujuan menekan angka perokok aktif. Mari kesampingkan itu dulu, keberadaan e-cigarette atau rokok elektrik juga penting ditelusuri kebijakannya.
Rokok elektrik yang sering dijumpai seperti vape, pod, dan mod berkembang di Indonesia dengan pesat. Tahun 2021, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) mengungkapkan meningkatnya perokok elektrik yang melonjak dari 2011 sebesar 0,3 persen (480.000 jiwa) menjadi 3,0 persen (6,6 juta jiwa). Penjualan rokok elektrik di Indonesia adalah hasil impor pemerintah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permenag) No. 86 Tahun 2017 tentang impor rokok elektrik.
Antara kebijakan rokok elektrik dan rokok konvensional sebenarnya permasalahannya terletak pada PP 109/2012. Mari kita fokus pada rokok elektrik, pasti sering dengar bahwa vape dan sejenisnya itu tidak terlalu membahayakan, bukan? Narasi buatan World Health Organisation (WHO) agar mengurangi epidemi rokok konvensional yang mengakibatkan kanker paru-paru dengan beralih ke rokok elektrik terkesan bualan. Selain liquid sebagai cairan perasa mengadung nikotin, kandungan glikol dan diasetil, masing-masing berakibat ganguan pernafasan dan penyakit paru obstruktif kronis.
Kesehatan Masyarakat dan Industri Rokok
Pro dan kontra muncul, yang memperdebatkan urgensi revisi PP 109/2012 atau bertahan pada relevansinya. Dilihat secara praktisnya, pihak pro mendorong revisi tersebut mempertimbangkan beberapa hal, masifnya anak-anak membeli rokok elektrik dengan bebas dan online; negara tetangga yang melarang impor rokok elektrik layaknya Singapura; belum diatur rokok elektrik serupa rokok konvensional; pembatasan iklan rokok; pengendalian konsumsi rokok; dan kesehatan masyarakat.
Demikian, mengambil perkataan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Pimrim Basarah Yanuarso, dari idi.org, "Kita sepakat dengan transformasi kesehatan yang digulirkan bahwa kita harus mulai bergeser ke promotif dan preventif. Rokok saat sudah di hilir seperti kebakaran hutan, susah dikendalikan. Maka perlu adanya langkah preventif dengan merevisi PP109/2012". Begitulah, sudut pandang ahli kesehatan, menggemakan agar meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat.
Berbeda dari itu, (jawapos.com) Akademisi seperti Trubus Hardiansyah, seorang pengamat kebijakan Universitas Trisakti memandang PP 109/2012 masih relevan dan intervensi pihak luar, yakni Asia Pasific Cities Alliance for Health and Development (APCAT). Bahkan, peneliti dari UIN Jakarta, Fathudin Kalimas antara rokok elektrik dan rokok konvensional memiliki karakter yang berbeda. Iya, memikirkan hal ini membingungkan.
Rokok adalah soal kebutuhan, bagi konsumen dan industri. Pendapatan dari rokok elektrik juga melonjak signifikan. Melansir merdeka.com, industri rokok ditargetkan akan menyumbang Rp648,84 miliar selama periode 2022. Luar biasa bukan? Rokok itu adiktif juga untuk pemerintah, penyokong terbesar APBN. Peluang sudah terbuka untuk investor adalah satu hal, tapi investor juga mencari celah agar leluasa terjual produknya.
Pemerintah Perlu Memutuskan
Pasti terbenak, kepedulian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat itu ada, mereka hanya sulit menyesuaikan permintaan investor untuk menyehatkan pendapatan. Lho, mari berpikir positif sejenak, Jum'at (23/12) lalu, diputuskannya Keppres 25/2022 upaya menegaskan revisi PP 109/2012. Adapun yang diubah di antaranya ukuran peringatan diperbesar; rokok elektrik diatur; iklan, promosi, dan sponsorship rokok diperketat; larangan menjual rokok batangan; dan pengawasan dan pengendalian konsumsi tembakau ditingkatkan.
Lebih lanjut, penggunaan rokok elektrik yang direncanakan untuk mengubah perilaku perokok aktif sampai berhenti merokok, sangat berbeda dari realitanya, apalagi anak-anak muda. Terbilang nihil, hadirnya perokok elektrik dan tembakau atau dikenal dual user lebih membahayakan kesehatan. Budaya yang terbentuk bagi perokok elektrik merupakan pengaruh sosiologis, dimana mereka hanya ikut-ikutan agar terbilang keren dan kekinian.
Beberapa bersedia mengeluarkan biaya besar untuk perawatan rokok elektrik dan pembelian liquid berbagai rasa yang konsumtif. Kiranya, kembali ke revisi agar menekan pengawasan dan pengendalian konsumen rokok tidak efektif, keterlambatan pemerintah mengurusi hal ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Â Tapi ini perlu dilakukan untuk nasib kader bangsa yang sehat, sekali lagi, sehat untuk masyarakat dan pendapatan negara.