Hai Kompasianer, sering kali merasakan tekanan berat dan rintangan hidup yang tidak pernah ada habisnya, dampaknya akan terlihat gundah gelisah diambang permasalahan kehidupan. Meskipun, beberapa orang memiliki sikap menangani permasalahan dengan memperlihatkan ke publik bahwa dirinya baik-baik saja.Â
Nah, pura-pura Bahagia atau baik-baik saja adalah fenomena yang selalu tampil di dunia modern. Padahal pesatnya era digital tidak menutup kalau seseorang yang ceria namun sebenarnya terluka dan tertekan.
Hal tersebut merupakan perilaku yang terkena gangguan psikologis, akan sering terlihat pada orang-orang yang ambisius. Fenomena ini dikenal dengan duck syndrome yang pertama kali dipopulerkan Stanford University, Amerika Serikat.Â
Duck Syndrom adalah fenomena yang di analogi kan kepada bebek yang berenang dan tampak tenang, sedangkan kakinya bergerak kuat agar tetap berada di permukaan air. Jelasnya, "sindrom bebek" memvisualisasikan diri yang Bahagia padahal tidak.
Meskipun simpang-siur apakah gangguan mental, tapi rentan untuk usia muda, remaja atau dewasa. Semasa berkelana di dunia Pendidikan formal atau pekerjaan, orang-orang tampak Bahagia dan senang bisa mempelajari sesuatu atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan.Â
Kadang tidak seperti yang diharapkan, adanya tekanan dan perjuangan keras selalu dipertahankan agar tetap berada di posisinya.
Beberapa gejala yang menyebabkan duck syndrome ialah sering kali berusaha sendiri tanpa meminta bantuan orang lain, selalu membandingkan diri kepada yang lain, tuntunan Pendidikan, harapan tinggi dari keluarga, helicopter parenting, perfeksionisme, trauma pada masa lalu, kurang menerima diri sendiri (self-esteem), terlarut-larut bermain media sosial, ditinggal orang yang disayangi, neurotransmitter yang tak normal, dan ambisius berlebih.
Pada dasarnya, penyebab-penyebab tersebut merubah ke-otentikan diri yang seharusnya bisa merasakan bahagia sejati.Â
Kecemasan sampai depresi akan terus merajalela apabila penderita sindrom bebek tidak mau beranjak untuk konsultasi, ke psikolog atau mengobati dirinya. Bisa saja menyebabkan kehidupan kacau dan tidak teratur, hingga berfikir untuk menyelesaikan kehidupannya (bunuh diri).
Berubah persepsi adalah kunci utama solusi dari penderita duck syndrome, meyakini diri sendiri dan berikan waktu evaluasi dari ambisi tiada henti.Â
Kemudian, pentingnya menceritakan keluh-kesah perjalanan hidup kepada teman dekat supaya melepaskan beban yang selama ini sukar dibagikan. Tenang kan pikiran dan fokus satu hal agar mampu melanjutkan hal-hal lain yang mesti dikerjakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI