Tanggal 23 Juli diperingati sebagai hari anak nasional, tentu sebagai orang tua berterima kasih kepada pemerintah yang memberikan hari special bagi anak-anaknya. Karena hari anak nasional ditetapkan sesuai keputusan Presiden RI Nomor 44 tahun 1984 di zaman Orde Baru (ORBA) dan mulai diselenggarakan 2 tahun setelahnya hingga kini.
Sebelum membahas secara filosofis tentang anak, perlu diketahui bahwa terdapat anak disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Mereka bisa dibilang berbeda dari anak-anak normal pada dasarnya, menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak (KemenPPPA) ABK adalah anak yang memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan, secara fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional yang berdampak pada proses pertumbuhan anak.
Secara singkat, ABK memiliki beberapa tipe, yaitu Tunagharita (mental yang menghambat perkembangan; Tunanetra (gangguan penglihatan); Tunarungu (gangguan pendengaran); Tunalaras (gangguan emosi tak stabil); Tunadaksa (gangguan pada gerak tubuh); Autisme (gangguan komunikasi, repetitive. Streotipi); ADHD (Attention-Deficit/Hyperactive Disorder); Down Syndrome (kelainan genetik); Cerebral Palsy (gangguan otak tak normal); dan Epilepsi (gangguan neurologis).
Sungguh bersama anak dengan keterbelakangan tersebut tidak bisa dibiarkan, perlu pelayanan, fasilitas, dan Pendidikan khusus agar anak bangsa senantiasa membawa Indonesia pada semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' sejati. Sementara itu, melihat kondisi sosial anak-anak normal di pelataran kota perlu dikaji kembali.Â
Fenomena Citayem Fashion Week yang terkenal dekat-dekat ini disebabkan oleh kreativitas anak-anak jalanan. Artinya ini merupakan fenomena sosial baru, yang menurut pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati sebagai metrosentrik.
Sederhananya, fenomena metrosentrik terjadi karena para anak hingga remaja dalam masa pencarian identitas di pelataran kota disebabkan oleh sosial media yang selalu mereka konsumsi. Tidak aneh Citayem saat ini dianggap khalayak umum sebagai Times Square dengan kearifan lokal di Jakarta.Â
Meskipun bagi anak jalanan mendapat pujian sebab meramaikan duniawi jalan dengan fashion yang beraneka ragam, namun beberapa masyarakat merasa risih pada fenomena sosial tersebut.
Ketidaknyamanan bisa datang dari pengguna jalan motor, mobil, maupun Kereta Rangkaian Listrik (KRL) yang berdekatan kawasan Dukuh Atas. Akibatnya, terjadi kemacetan, pengkotoran ruang publik, dan kekhawatiran anak-anak yang sudah pandai bergaul akan dipengaruhi orang dewasa yang tidak benar.
Fenomena anak nasional terhadap Citayem harus menjadi refleksi bagi semua kalangan, perlombaan pada style anak-anak, kemunduran proses Indonesia emas dan baiknya menjadi kreativitas anak jalanan menjadi model dengan ruangan mereka sendiri.Â
Membuka lingkup filsofis anak, orang tua harus lebih waspada terhadap anak yang dibebaskan. Sejatinya, setiap anak belum bisa berkehendak sendirinya karena selalu dipengaruhi oleh hal-hal yang dibawa orang dewasa sekitarnya.
Alangkah baiknya, berikan stimulus anak tentang berfikir yang bijaksana, tetap teguh pendirian, dan tidak labil. Setiap keputusan yang dibuat oleh seorang anak merupakan representasi dari pertumbuhannya, baik itu positif atau negative, maka tetap merangkulah untuk sang anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H