Islamisme ke Post-Islamisme
Islam yang merupakan ajaran dan agama yang rahmatan lil alamin, menjadikan muslim melakukan kristalisasi terhadap keyakinan yang dianutnya jelas. Namun, membahas Islam dengan Ideologi politik karena pengaruh zaman adalah perubahan paradigmatik Islam, munculnya Islamisme sebagai 'isme' atau paham adalah mengkonfigurasikan Islam sebagai salah satu ideologi dunia. Asef Bayat mengemukakan bahwa Islamisme sebagai ideologi dan gerakan yang berusaha membangun tatanan Islam (ideologies and movements that strive to establish some kind of an islamic order).
Hal ini berupaya membentuk negara Islam, hukum syariah, atau moralitas Islam yang melahirkan nilai-nilai kehidupan. Para pendukung Islamisme seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Abu'l Ala Mawdudi, dan Ayatollah Khoemeini sang revolusioner Iran tahun 1979 sebagai penopang kuat paham Islamisme tersebut.
Transformasi kepada Post-Islamisme merupakan alternatif Islamisme yang kaku, Asef Bayat lagi-lagi mengkonsepkan Post-Islamisme sebagai usaha untuk menggambarkan dan merancang strategi dan modalitas untuk membawa Islam melebihi aspek sosial, politik, dan intelektual (conceptualize and strategize the rationale and modalities of transceding Islam in social, politics, and intellectual domains).
Paham yang muncul sebagai alternatif ini mencoba Islam memasuki ranah demokrasi dan modernitas. Usaha yang bertujuan mencari perpaduan antara religiositas dan hak, iman dan liberal, dan Islam dan kemerdekaan (religiosity and rights, faith and freedom, Islam and liberty). Dan Indonesia merupakan salah satu penganut Islam terbanyak dan mengakualisasikan demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya.Â
Gerakan Politik Dalam Islam
Dalam konteks negara Indonesia, penduduk yang mayoritas muslim dalam berkehidupan negara tidak lepas dari namanya kehidupan politik juga. Hal ini juga dijelaskan oleh supremasi hukum muslim yaitu Al-Qur'an dalam Q.S. Ali-Imran[3] ayat 104 yang berbunyi "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." maknanya umat yang menjadi komunitas harus mampu menyerukan kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran. Ini adalah skema kehidupan (the scheme of life) yang dimana masyarakat harus tunduk kepada kehendak ilahi.
Instrumen yang bisa melakukan itu dalam berkehidupan negara adalah kekuasaan politik sebab peran yang vital bagi penduduknya yang didominasi oleh agama Islam. Secara geografis, muslim Indonesia jauh dari jantung Islam di Timur Tengah yang menjadi sentralnya Islam, tetapi baik spritual dan psikologisnya tetap dinamis dan mendalam sama seperti kaum muslim diseantero dunia. kadang kali ada pembatas agama dan politik disebabkan pengaruh cita-cita politik Barat yang memandang bahwa kegiatan politik adan kegiatan duniawi dan agama adalah urusan privasi yang tak perlu dikaitkan dengan agama.Â
Sebagian yang lain, kaum ortodoks yang menjadikan Islam sebagai agama, pandangan hidup, dan lebih kepada watak yang holistik atau keseluruhan sebegai kesatuan melebihi kumpulan bagian, berpendapat tidak adanya pembatasan antara agama dan politik, karena tugasnya Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Disamping itu, ada yang memahami watak holistik Islam dengan cara yang organik, maksudnya adalah hubungan Islam dan segala aspek kehidupan harus dibangun dengan metode yang legal dan formal.Â
Ada juga yang menafsirkan watak holistik dalam Islam kepada cara yang lebih substansialistik atau praktik dalam beragama yang fokus pada tujuan dan isinya dibandingkan prosedur dan metode meraih suatu tujuan. Menurut Munawir Sjadzali, watak ini mengahsilakan negara religius (religious state) bukan negara teokrasi (theocratic state). ini juga mendatangkan moderat dan toleransi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI