Secara historis, penetapan Hari Kebangkitan Nasional oleh Soekarno pada 20 Mei 1948 dilatarbelakangi oleh organisasi Budi Oetomo sebagai organisasi pertama berideologi nasionalisme dan bersifat modern adalah organisasi yang mempersatukan pergerakan bangsa Indonesia karena terjadinya perpecahan.Â
Budi Oetomo didirikan oleh Dr. Sutomo pada tahun 1908 bersama mahasiswa STOVIA (School Tot Oepleding Van Indische Artsen) bertujuan melawan arogansi kolonialisme Belanda dalam mendikotomi dan mengeksplotasi negara Indonesia.
Dalam Kongres pertamanya, Budi Oetomo bertujuan untuk menjamin kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa terhormat yang difokuskan dalam pergerakan di bidang Pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Tentu dalam hal ini Budi Oetomo menjadi pemantik agar Bangsa Indonesia tetap teguh memiliki rasa patriotisme dan nasionalisme ditanah kehidupannya. Alhasil, Soekarno yang kental dengan nasionalismenya menopang dengan kuat agar menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia di masa depan.
Amien Rais pernah berkata dalam buku agenda-mendesak bangsa, selamatkan Indonesia, nasionalisme kita terlalu dangkal jika hanya hormat kepada merah putih secara simbolik, tetapi kekayaan dan sumber daya potensial kita terus dieksploitasi karena perusahaan asing, investor, dan institusi ekonomi yang besar. begitulah kira-kira maksudnya, ekonomi menjadi sektor primer dalam segala hal.
Namun, jika menuju masa kini yang begitu melesat, dimana sikap nasionalisme yang sering kita acuhkan dan hiraukan. Sebab itu penting untuk menilik dari segala aktivitas masyarakat yang dalam struktur dan fungsinya masih menjalankan nilai-nilai nasionalisme.Â
Karena cepatnya pemberitaan di media arus utama dan viralnya hal sepele di sosial media, kadang sukar untuk fokus pada satu permasalahan. seakan-akan ketika menitikfokuskan problematika yang ada, dikaburkan oleh problematika yang berbeda dan memiliki daya tarik yang kuat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Nasionalisme sekarang ini cenderung semiotik atau simbolik saja, karena pasca kemerdekaan yang sudah diproklamirkan dan terlepas dari ambisi imperialisme dan kolonialisme sudah terselesaikan. Padahal sekarang ini originalitas nasionalisme sudah pudar secara esensi yang ada.Â
Coba lihat berapa banyak orang yang suka dengan gaya hidup Barat, orang-orang muslim yang melakukan 'Arabisasi', para wanita yang terobesesi oleh budaya Korea, dan muda-mudi yang terpengaruh oleh animasi Jepang. Apalagi mereka yang mengedepankan kelompok rasial dan keagamaan.
Adapun Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat pada 2019, jumlah dari warga Indonesia lebih senang menyebut dirinya warga Indonesia berkisar 66,4 %, penganut agama tertentu 19,9%, dan kelompok mengatasnamakan kesukuan 19,9%. LSI melakukan survei dari 1.550 responden secara acak.Â
Bisa dilihat betapa pengaruh kuat negara dan budaya luar yang terus mengkikis kecintaan terhadap tanah air Indonesia kita, bisa jadi bumi pertiwi kita merengek "betapa mudahnya zaman sekarang, kalian sukar untuk mencintai kesatuan Indonesia yang telah dibangun oleh darah dan perjuangan pahlawan nasional".
kita lupa pada sejarah dan perjuangan orang-orang terdahulu, bangsa sendiri yang juga turut mengeksploitasi karena egoistik yang kurang mengedepankan sikap egaliter.Â
Maka mulailah kembali mengingatkan kembali masing-masing kita dari hal-hal yang kecil, kemungkinan terbesar adalah hal-hal kecil dibarengi sikap nasionalis dalam kebersamaan yang teratur akan menjadi bangsa kita terus bisa menyandang predikat Bhinneka Tunggal Ika yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H