Di akhir tahun 2019, warga china di hebohkan oleh penyakit Pneumonia yang misterius, dilaporkan pertama kali terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Lalu WHO sendiri menyatakan bahwa penyakit tersebut ialah Coronavirus Disease (COVID-19) pada tanggal 11 Februari 2020. Virus yang pada awalnya transmisi dari hewan ke manusia, hingga manusia ke manusia mengakibatkan WHO memberitahukan COVID-19 bukanlah epidemi lokal melainkan menjadi Pandemi berstatus global.
Dalam kenyataanya, Worldometer mencatat sampai 25 November 2021 terdapat 259.773.152 Juta kasus positif COVID-19 dengan jumlah kematian 5.193.091 ribu orang yang tersebar di 224 negara di dunia. Indonesia salah satunya, di kabarkan pada tanggal 2 Maret 2020 virus COVID-19 mulai hadir di tengah masyarakat yang pesimis tentang virus itu berpotensi meluas ke negara Asia Tenggara dengan jarak 3.488 KM antara Wuhan ke Indonesia.
Tetapi karena dinamakan pandemi global dengan jalur penyebaran udara dan orang Indonesia yang telah berpergian ke Wuhan, China bisa di terima oleh para ahli medis di bidangnya. Pemerintah Indonesia mengambil tindakan dalam penanganan COVID-19 dengan menerbitkan 3 (tiga) instrumen hukum sebagai langkah pencegahan terhadap penyebaran wabah COVID-19: (1) Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); (2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, dan; (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sebagaimana peraturan diatas, masyarakat Indonesia banyak menggulung tikarnya karena batasan-batasan untuk bersosial, mulai dari Pendidikan yang dilakukan secara daring (dalam jaringan), bahkan Sri Mulyani, Menteri keuangan RI pernah berbicara “BI dan menteri keuangan RI ikut berpandangan bahwa masa depan ekonomi Indonesia juga suram, setidaknya sampai awal tahun 2021, pertumbuhan ekonomi tertekan samapai minus -6,13% pada Agustus 2020”. Beliau menegaskan lajur COVID-19 ini memang harus di perhatikan di bidang perekonomian karena berpengaruh juga pada bidang yang lain, baik itu Pendidikan dan infrastuktur Indonesia. Lalu bagaimana para petinggi lainnya dalam mengambil tindakan ketika wabah ini terjadi? Apakah mereka serius dalam memperbaiki dan menanggulangi wabah COVID-19? Rasanya aturan tersebut banyak di manfaatkan oleh para aparatur pemerintahan.
Sesuai Adagium Vox Vovuli Vox Dei atau suara rakyat adalah suara tuhan, harus di gemparkan kembali agar petinggi kita sadar terhadap rakyatnya apalagi di masa-masa pandemi ini. Melihat ke luar negeri dalam artikel Elites can take care of themselves Comment on COVID-19: the rude awakening for the political elite in low-income and middle-income countries, penulis sangat menyayangkan memang banyak bantuan medis, Pendidikan, sosial, ekonomi, dll. Tetapi elite politik sulit untuk disadarkan untuk bisa serius dan tidak mengambil keuntungan di tengah wabah COVID-19 khusunya di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Mengutip dari artikel tesebut, Irene Torres memandang, seharusnya kita meminta para elit untuk berkontribusi lebih besar dalam pembiayaan sistem perawatan kesehatan primer universal berkualitas yang peduli untuk semua, terlepas dari kemampuan untuk membayar. Cara ini juga memerlukan perpindahan dari model kompleks industri berbasis rumah sakit yang hanya semakin memperkaya para elit, berkali-kali melalui pengaturan bisnis yang tidak jelas.
Mengacu penanggulangan wabah ini dari elit politik yang sudah menyebar di seluruh provinsi di Indonesia, perpu No. 1 tahun 2020 yang tujuannya untuk menyelamatkan dari wabah malah berpotensi berpihak kepada para elit pemerintah, sebab substansinya terdapat problem hukum yang memunculkan moral hazard, fraud dan korupsi yang apapun tindakan dan keputusan mereka sulit di hukum secara perdata, pidana, dan tata usaha negara.
Sebagai contohnya, dimana mobilitas pepindahan masyarakat terbilang tinggi, café, tempat wisata, hiburan dan area perbelanjaan di mall masih dibuka di sebagaian daerah seperti biasa. Di samping banyak pasien COVID-19 yang menderita karena kekurangan bantuan medis sebagai tanda hak asasi atas kesehatan dan belum maksimal, pelayanan yang baik belum terpenuhi, padahal pemerintah di amanahkan dalam Pasal 28H ayat (1), Pasal 34 ayat (2) serta (3) Undang-undang Dasar 1945, Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights dan pasal 12 ayat (1) Kovenan International tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, Socical and Cultural Rights).
Seharusnya ketika berkomitmen menanggulangi wabah virus ini, kesampingkan dulu pelayanan yang tidak penting selain kesehatan, dan tegas secara penuh dan menyuluruh baik dari petinggi hingga rakyat biasa, anehnya peraturan yang sifatnya lex Dura Sed Ita Scripta atau undang-undang memang keras tetapi demikianlah bunyinya semata-mata menjadi senjata makan tuan, melansir dari Kompas.com kasus korupsi, Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, menerima suap dari sejumlah perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster pada 25 November 2020 dan Kasus Juliari P Batubara, mantan Menteri Sosial menerima fee dari rekanan pada Kemensos sebesar Rp 10.000 per paket bansos. Total uang yang diduga diterima Juliari sebesar Rp 17 miliar yang kemudian digunakan untuk keperluan pribadinya. Dan kedua kasus ini terjadi ketika pandemi terjadi.
Layak di tegaskan dengan hukuman mati, dengan landasan terkena Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan Pasal 2 ayat (2) bahwa pidana mati dapat dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu. Peristiwa ini sangat di sayangkan, dimana komitmen pemerintah bersama-sama untuk berfokus untuk wabah COVID-19 dijadikan sebagai alat atau strategi untuk kepentingan sendiri.