Mohon tunggu...
Berliana Siregar
Berliana Siregar Mohon Tunggu... Penulis - Daulat Hati, tubuh dan Rasa

Do your job Pikirkan hal-hal ringan @@##Kreatiflah@!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Asuransi (bukan) Pilihan

31 Maret 2015   11:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber : coteseo.abatasa.co.id

Dilematika diantara Pilihan

Zaman nenek moyangku dulu, tak ada asuransi. Hidup adalah sekarang. Kalau memang waktunya mati ya mati. Orang sakit ya dipaksa menikmati kesakitannya. Tapi karena pengetahuan. Maka efek globalnya menjalar ke semua lini.

Sekarang adalah jamannya "Proteksi." Jangan bicara soal hidup bahagia bila tidak ada komponen "Perlindungan" di dalamnya.

Orang sehat, anak ganteng dan pintar. Kalau belum diproteksi dalam sebuah sistem perlindungan yang namanya Asuransi, dianggap masih beresiko untuk menjalani hidup.

Nah..dua dilematika inilah yang masih berkecamuk di dalam diriku. Antara kehidupan tradisional yang sarat dengan sikap pasrah,tupa do i sude (Semua telah tersedia), hidup ini adalah teka-teki, dan berbagai cara berpikir dulu masih bergayut.

Di sisi lain, persentuhan dengan dunia permoderan telah memaksa diriku memperbanyak standard hidup. Dan akhirnya semakin mendorong untuk melakukan perubahan secara radikal tentang nilai hidup.

Konsep Hidup dan Kaitannya dengan Proteksi

Nilai hidup tentu terkait dengan konsep hidup yang  jelas-jelas terkait erat dengan asuransi. Apa jenis konsep hidup anda? Konsep hidup terkait dengan geografi dimana anda tinggal. Terkait dengan latarbelakang?Terkait dengan apa yang anda makan?  Dan akhirnya terkait dengan bagaimana cara anda memandang hidup ini. Dan tentu berhubungan erat dengan seberapa “tebal kantong anda.”.

Oke, mari kita mulai dari geographi. Desa dan Kota?

Orang Desa tak perlu asuransi.

Nah pemikiran ini yang masih hinggap di diriku yang kebetulan 100% lahir dan tumbuh remaja  di desa. Desa dimana aku tinggal berupa perkampungan dengan ketersediaan alam yang cukup bagi masyarakatnya. Ada pertanian yang tidak begitu luas, ada lahan luas perkebunan sawit milik perusahaan negara sehingga di desaku ada juga beberapa tenaga  buruh yang persentasenya sekitar 20-30%, ada pegawai rendahan di desa hingga kantor camat dan sebagian berladang. Kecukupan yang tidak terlalu fantastis ini menyeret diriku untuk berpikir  bahwa tidak perlu khawatir tentang esok hari.  Padi masih tersedia di lumbung, gaji bulanan ayah dan ibuku yang guru SD masih bisa hanya untuk sekedar makan 3 x sehari, lahan kosong di sebelah rumah masih menghasilkan sayur mayur yang cukup untuk hari ini sampai lusa. Nah…………..persetan dengan asuransi itu. Asuransi yang hanya bernilai ketika usianya minimal belasan tahun.

Lahir dan tumbuh remaja  di desa, dan kemudian memulai kehidupan di kota. Aku juga akhirnya tersadar, bahwa hidup itu bukan hanya seluas daun kelor. Desaku yang tepi-tepi dan batas-batasnya  yang masih bisa dijelajahi dengan tapak kaki remajaku. Hingga kutahu seluruh sudut-sudutnya. Dimana pokok jambu terlezat yang bisa diokupasi oleh kenakalan remaja kami. Hingga bau tanah dan aroma daun yang tumbuh disana.

Sungguh berbeda dengan kehidupan kekinian yang kini harus dilakoni. Hidup di kota katanya. Yang telah mengoyakkan idealisme soal akar alam itu sendiri. Penanaman nilai gobalisasi, liberalisasi, dan unsur-unsur pengikutnya termasuk kompetisi, proteksi, efisiensi, effektivitas. Dan berbagai paradigma baru yang terus ditanam baik semasa kuliah, pergaulan di arena publik, di media sosial dan akhirnya berputar di kehidupan itu sendiri telah menarikku pada satu poros baru. Yang persentasenya sedemikian hebat mungkin 70%. Poros lama tentang nilai “Mangan Ora Mangan Asal Ngumpul”, “Jangan khawatir akan hari esok karena esok memiliki kesulitan sendiri.” “Bahagia itu sederhana.””Menikmati kebahagiaan dengan hal-hal kecil.” “Tupa do I suda (umpasa Batak bahwa alam memberikan segalanya, tidak usah khawatir), akhirnya BUYAR………….BU….YAR…………..

Kemenangan poros baru dalam diri ini akhirnya mendesakku pada berbagai pilihan. Bagai  bunga-bunga yang sedang mekar, warna-warni ASURANSI datang silih berganti. Ada warna merah terang dengan sosok wajah menenangkan, ada biru mendebarkan jiwa dengan 3 huruf tegas , bahkan warna bercorak yang sangat lokal. Semua memberi harapan. Memberi kalkulasi yang mengiris kalbu. “Betapa malangnya dirimu jika  kamu tidak memiliki asuransi.” Godaan dashyat datang dari kiri, kanan, muka dan belakang. Dari motto sekaliber bahasa motivator dunia hingga bahasa ibu tua miskin di tepi rel kereta api.

Motto 1:

14277073872085604004
14277073872085604004

sumber: mariberasuransi88.blogspot.com

Motto 2:

Transformer kalau beli asuransi, belinya asuransi mobil atau asuransi jiwa? #QOTD (sumber : http://update-infoanda.blogspot.com/2013/07/kata-kata-lucu-terbaru-ngakak.html)

Gebyar promosinya ada dimana-mana, televisi, facebook, kaus-kaus tipis yang dipakai kuli bangunan, hingga iklan media harga milyaran rupiah.

Yang akhirnya mencoba meruntuhkan “keimananku” tentang konsep hidup tadi. Mengikis secara perlahan ketebalan dinding prinsip hidup tradisionalisme tadi. Menjadi manusia kini dengan multi kebutuhan dan para dayang-dayangnya. Dulu konsep hidup yang hanya soal makan, tidur dan bermain sudah meluas hingga ke aspek lain. Makan, pangan,  tidur nyaman, main game terbaru, bergosip ria, makan enak, asuransi paling lengkap, sehat alami, me time,acara ulang tahun, arisan, update facebook sudah tidak bisa lagi dipisahkan antara yang primer dan sekunder. Semua telah sejajar.

Walau Berat, Waktunya Mengambil Pilihan

Succeeded, buaian itu akhirnya mendesak untuk membuat pilihan. Dengan gaji tak seberapa. Hitung-hitung akan masa depan yang “aman dan terlindungi”, saya dan suami memutuskan mengambil beberapa jenis asuransi. Sesuai dompet.  Walau dilogikan dengan hitungan 20-30 tahun ke depan  nilai yang diperoleh sangat kecil untuk kebutuhan hidup yang besar nantinya. Tapi daripada tidak samasekali ya..kata orang Medan DIPALA-PALAIN.

Ambil saja rupa-rupa. Satu jenis untuk Hari Tua, 1 jenis untuk Kesehatan. 2 lainnya adalah untuk  kesehatan, kecelakaan kerja dan pensiun yang dipotong langsung dari gaji suami dan saya yang notabene hanya seorang “Worker” dengan upah sedikit diatas Upah Minimum Propinsi.

Namanya juga keluarga Minimum, everyting is small. Minimalis istilah kerennya. Tinggal di rumah minimalis, gaji dengan standard UMP, ambil asuransi type Standard (Ingin sih ambil yang gold, luxurious) tapi apa daya masih type silver saja yang mampu.

Rangkaian pertimbangan inilah yang menjadi dasar utama MENGAPA AGAK BERAT AMBIL ASURANSI. Jika boleh diperas intinya inilah beberapa diantaranya:

1.Tidak punya uang cukup untuk memilih asuransi sesuai kebutuhan dalam rangka hidup “Nyaman” di kemudian hari

2.Masih melekatnya pemahaman “tradisional” tentang konsep hidup yang nilainya antara lain:

·Bahwa Hidup adalah hari ini. Untuk apa bersusah payah untuk hari esok yang belum tahu seperti apa. Enjoy today, May be Tomorrow you will be die.

·Alam memberi ketersediaan. Limpahan air mengalir tiada henti. Udara segar yang masih kamu temui di sepanjang hari. Matahari dengan kehangatannya yang selalu menyelimuti hati yang gundah. Sayur-sayuran segar di pasar tradisonal yang masih murah. Atau bahkan masih bisa ditanam di halaman depan rumah yang luas.

Jika dipikir-pikir lagi Hidup di Asia terutama di Indonesia adalah konsep hidup komunal. Pemahaman bersama soal hidup berkelompok. Ada nilai berbagi di dalamnya yang menjadi prinsip dasar. Berbagi dalam hal susah senang. Saat satu anggota keluarga sakit. Maka seluruh anggota keluarga lainnya akan turut mencoba bersumbangsih dalam meringankan  beban keluarga inti yang sakit. Walau disadari nilai ini mulai bergeser dan menipis. Secara teori masih sangat kuat dipahami. Tetapi prakteknya agak sulit diterapkan.

Lain hal pada soal “kematian”. Dalam masyarakat Batak, Kematian terutama bagi orang yang sudah memiliki cucu dari anak lelaki dan perempuan (mapan secara ekonomi, memiliki keturunan lengkap baik dari anak perempuan dan laki-laki) maka sempurnalah kematian tersebut. Kematian akan menjadi pesta. Pesta adat membutuhkan biaya besar. Biaya ini akan menjadi tanggungan bersama. Menjadi beban kolektif bagi keturunan, kerabat, saudara, dan yang masih memiliki garis darah dengan yang meninggal. Konsep dan praktek ini masih dijalani hari ini.

Beberapa kerabat yang meninggal yang masih memiliki hubungan darah dalam beberapa bulan ini mewajibkan “sharing pembiayaan” untuk beban pesta adat tersebut. Praktek hidup ini membawaku pada aras pemikiran bahwa masih ada komponen pendukung lain yaitu keluarga jauh (yang memiliki hubungan darah) yang bisa menjadi alternatif “proteksi” saat kemalangan terjadi. Proteksi yang bukan hanya sekedar sharing biaya, tetapi juga diskusi untuk mencari solusi atas masalah  yang terjadi di sebuah keluarga. Sebuah tradisi yang masih berjalan. Menyebabkan posisi agak berat untuk menjadikan asuransi sebagai satu-satunya “ALAT” Dan MEDIA untuk BUMPER di kemudian hari untuk hidup yang nyaman, terlindungi, bahagia dan sejahtera.

Akhirnya Asuransi Memang (Bukan) Menjadi Pilihan

Hidup selalu berubah. Tiap waktu berjalan, ada perubahan yang terjadi. Karakter berubah. Nilai hidup berubah. Konsep hidup berubah. Karena iklim juga berubah. Dahulu matahari bersinar sesuai porsinya. Saat kekeringan sudah mulai terasa, hujan akan turun untuk menetralkannya. Dulu keseimbangan terjaga. Karena siklus hidup masih terpelihara. Pohon-pohon masih rimbun yang menghasilkan kebutuhan oksigen dan karbon yang mencukupi. Mahluk hidup yang tergantung pada hutan masih mendapatkan makanan berlimpah dari alam. Tapi kini??????????????????Telah terjadi ketidakseimbangan  pada hampir seluruh mekanisme hidup di dunia ini.

Tumbuhan telah ditebang. Hewan-hewan tak mendapatkan nutrisi dan energi yang cukup lagi dari alam. Sungai-sungai mengering. Hujan dan matahari datang tanpa siklus yang jelas lagi. Eksploitasi terhadap alam berlangsung secara liar dan membabi buta. Bumi telah sakit. Akhirnya manusia sebagai penghuninya harus beradaptasi atas situasi ini.

Adaptasi membutuhkan amunisi. Manusia akhirnya mencari berbagai terobosan baru untuk bisa bertahan hidup atas situasi ini. Innovasi tiada henti untuk tetap bisa berlomba dengan alam yang sudah tak ramah lagi harus diciptakan. Berbagai model adaptasi bahkan pertahanan hidup terus dikreasikan. Manusia tak boleh kalah dengan pertumbuhan yang buruk ini. Semua tehnologi, ide, ilmu pengetahuan, ciptaan baru harus dicari. Dan ASURANSI adalah salah satunya.

Asuransi menjadi salah satu bagian dari Adaptasi itu. Bagian yang menjadi satu sistim yang dibangun oleh para pakar dalam kerangka mengatasi persoalan yang timbul atas tubuh dan hidup manusia. Dulu makanan sehat membuat umur panjang. Tapi kini umur manusia tak bisa diduga. Akibat makanan yang tak sehat, alam yang telah terpolusi  dan tingkat stress yang tinggi, kematian bisa datang kapan saja. Anak-anak kecil bisa menjadi yatim piatu dalam hitungan detik. Pola makan tak sehat membuat kolesterol tinggi. Penyakit diabetes. Resiko sakit mendadak. Dan berbagai rupa penyakit baru. Untuk bisa mengadaptasi perubahan revolusioner yang buruk ini maka sebuah system dibangun. Asuransi. Sebuah model proteksi yang penuh logika dan akal sehat. Hidup kini penuh resiko. Di jalanan, di arena publik bahkan di rumah. Sehingga kebutuhan akan ASURANSI melejit menjadi kebutuhan primer. Aku sebagai keluarga yang hidup antara masa tradisionalisme dan peralihan jaman modern akhirnya mengambil pilihan bahwa sudah saatnya Asuransi dipilih berdasarkan kemampuan dompet dan kebutuhan keluarga kecil.

Keragu-raguan masih melekat. Tapi Pilihan harus diambil. Pilihan yang masih seperti buih yang akan hilang diterjang oleh hal yang paling ringan sekalipun.

Berat memang. Seperti kata Iwan Fals. Aku (Bukan) Pilihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun