Ibu senang melakukan hal-hal yang remeh temeh. Saat menjerang air misalnya, Ibu selalu melebihkan jumlahnya.
Jika sudah mendidih, sebagian ia gunakan untuk memecah teh, sisanya yang lain dimasukkan ke dalam termos. Alasan Ibu: pernah tetangga sebelah tergopoh-gopoh ke rumah lantaran takpunya air panas, sedang bayinya mengelinjang-gelinjang, kehausan minta susu.
Ibu suka melakukan hal yang seolah mubazir. Terlihat dari caranya memasak nasi. Walaupun tiga tekong beras telah mencukupi untuk makan sehari, tapi Ibu selalu menambahkan setengah tekongnya lagi. Kata Ibu, "Aku ingin, jika tiba-tiba ada saudara kita yang datang, mereka harus pulang dengan perut kenyang."
Ibu doyan membeli ikan yang dijajakan oleh anak-anak yang lewat depan rumah. Kukira itu hasil tangkapan ayahnya pulang melaut, sebagian mereka masak, sebagian mereka uangkan dengan menjualnya.
"Ibu bangga pada anak-anak yang suka membantu orangtuanya, jauh dari kata gengsi. Ibu harus menyemangati dengan membeli," begitu kata Ibu.
Ibu takpernah mengucapkan kata "maaf dulu, Buk," pada seorang perempuan yang hampir setiap hari--setelah shalat ashar--meminta sedekah dari rumah ke rumah. Pernah adikku menutup pintu rumah pakai palang kayu saat melihat pengemis itu dari kejauhan, tiba-tiba Ibu datang dari warung. saat tahu maksudnya menutup pintu, Ibu memarahi adikku, termasuk aku yang membiarkannya. Kita takkan kelaparan jika bantu orang, kata Ibu. Mungkin dari doa-doanya juga nanti kita diberi kelapangan oleh Tuhan.
***
Tapi, jika Ibu bepergian ke tempat yang jauh karena sebuah hajatan atau keperluan, banyak orang yang kehilangan.
Tetangga sebelah taklagi bisa minta air panas. Bagi kami anak-anaknya, menyediakan air termos, bukan sebuah kewajiban, malah mengganggap kebiasaan yang tidak beradab, kecuali sekali-sekali atau yang sifatnya darurat
Anak-anak yang menjajakan ikannya bolak-balik bersuara lantang, dikiranya Ibu tidur atau sedang memasak di dapur. Ikannya tiada terjual. Sebab ikan yang dia jual (menurutku) harganya juga mahal. Ibu membelinya hanya karena kasihan.
Apalagi pengemis yang setiap hari ambil absen ke rumah, sudah pasti kami abaikan. Sebab, jangankan menolongnya, menolong diri kami sendiri saja kami tak mampu. Aku pernah melihatnya datang ke rumah, sedang di tangan kirinya lengkap kue jajanan pasar sekantong kresek: bakwan, dadar gulung, pastel, risoles, dan kue talam. Aku menduga uangnya jauh lebih banyak dari kami, hehe...
***
Adakah kami, anak-anaknya yang mewarisi sifat Ibu? Merasa bahagia ketika menolong orang, peduli pada kesulitan saudara, taktega menolak kedatangan pengemis walau datang secara berulang, sedang ia jauh dari kata berkelimpahan.
Kukira takada. Setengahnya saja kami tak punya kebaikan-kebaikan Ibu.
Tetanggaku, pernah minta dipinjamkan gas melon utuh (lengkap dengan isinya). Tapi kami bilang saja takpunya. Sebab jika tengah malam atau pagi buta tiba-tiba kehabisan gas, kami akan sangat kesulitan untuk mencarinya.
Saudara kami yang lain juga begitu, jika memasak dengan takaran yang pas, tak kurang, tak lebih. Tak ingin mubazir. Jika sekali-sekali ada tamu yang berkunjung, ia bisa belanja di luar, atau pesan makanan. Lebih praktis, anti ribet.
Adik perempuanku, katanya biasa belanja ke pasar sekali seminggu dengan jumlah yang banyak. Ia tak mungkin lagi melayani penjual ikan, tahu, dan sayur yang bersorak-sorak setiap hari di depan rumahnya.
***
Dari Ibu kami belajar kebaikan hati manusia, kami takbisa menirunya. Kami bangga mempunyai Ibu yang telah membesarkan kami dengan contoh-contoh yang baik. Kami berutang banyak padanya, yang takmungkin bisa kami membayarnya. Tapi, kami yakin orang seperti Ibu punya cara untuk bahagia.
Air Tawar, Padang, 20 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H