Anaknya yang sering sakit, hingga bolak balik rumah sakit seakan sebuah teguran pada kelalaiannya dan kesibukannya, pembantunya yang gonta-ganti, bahkan genap lima dalam hitungan setahun. Mungkin ia bukan majikan yang paham kesulitan dan padatnya pekerjaan bawahan.
Fariha tiba-tiba pingsan, sesaat sebelum pulang dari kantornya. Dokter mendiagnosa ia menderita anemia, akibat kelelahan dan banyak pikiran. Padahal tiga bulan yang lalu, ia sedang berjuang menyembuhkan penyakit asam lambungnya yang kadang sehat, kadang-kadang kumat. Sedang penyakit migraennya yang telah lama ia sembunyikan, harus dijadikan sahabat. Ia tak tahu lagi ke mana harus berobat.
Ia mulai lelah dengan penyakitnya, lelah dengan dirinya sendiri, tak tahu apa sesungguhnya yang ia kejar, dan apa yang sedang ia cari.
Ia seperti seorang yang pintar menyerang, tapi lupa bagaimana caranya bertahan. Sedang dulu ayahnya tidaklah hidup dalam kelimpahan, tapi anak-anaknya dalam pengasuhan yang baik. Mereka bersaudara bisa bahagia, walau jauh dari kata kaya. Tidak berkelimpahan, tapi jauh dari kata berkekurangan.
Bertepatan dengan hari baik, bulan baik, pada lima hari puasa, persis pada bulan dimana ia meninggalkan kampung halamannya, Fariha pergi untuk selamanya.
Ia meninggalkan perempuan cantiknya, ia meninggalkan suaminya yang selalu sabar mendampinginya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan segala harta benda yang telah lama ia kumpulkan, dan meninggalkan segala ambisi-ambisinya, yang tak ada ujungnya
Air Tawar, Padang, 9 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H