FARIHA, begitu namanya disebut. Tubuhnya yang kecil berbanding terbalik dengan semangatnya yang besar.
Sejak merantau ke kota, Fariha yang cupu bermetamorfosis menjadi suhu.
Kuakui, tak mudah bagi orang-orang yang seangkatan denganku waktu dulu untuk kuliah ke kota, selain:
Pertama, mempunyai tekad. Kedua, nekad.
Jangan pernah berfikir terlalu lama dan jangan pernah memikirkan yang jauh-jauh.
Seumpama: berapa biaya kuliah yang harus disediakan di awal masuk, berapa sewa kos, berapa biaya hidup bulanan, berapa beli buku penunjang. Jika sakit adakah persiapan untuk pengobatan. Jika pada akhirnya ekonomi kita sulit, tidakkah merasa malu untuk balik kanan, kembali ke kampung halaman.
Semakin banyak dimunculkan 'kata jika', semakin gamang mengambil keputusan untuk merantau ke kota.
Syarat ketiga merantau ke kota: lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur undangan. Sebab jika berharap melalui jalur tes, sulit sekali untuk menembusnya. Di kampung belum tersedia lembaga bimbel khusus masuk Perguruan Tinggi Negeri.
***
Maka dengan segenap keberanian, Fariha memulai petualangan menjadi mahasiswi pada sebuah Fakultas bergengsi.
Di kalangan teman-temannya, Fariha dikenal sebagai mahasiswi yang ambis. Ia rajin ke kampus, selalu mengumpulkan tugas-tugas tepat waktu, baca buku pustaka menjadi langganannya.
Saat awal-awal kuliah, ia langganan penyakit mag. Dokter klinik kampus bilang, ini akibat makan yang sembarangan dan pikiran yang diliputi banyak kecemasan.