Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Otoritas Tema Artikel BPIP Berubah, Waspadailah Sensor Agamawan yang Berlebihan?

16 Agustus 2021   11:35 Diperbarui: 16 Agustus 2021   11:46 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • "Sekretaris Utama BPIP Karjono menyatakan tema baru yang bakal dilombakan adalah 'Pandangan Agama Dalam Menguatkan Wawasan Kebangsaan' dan "Peran Masyarakat Dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 Menuju Indonesia Tangguh dan Indonesia Tumbuh". (CNN Indonesia, Senin, 16/08/2021 09:25 WIB).

Tema Artikel BPIP tentang "Hukum Hormat Bendera dan Hukum Menyanyikan Lagu Indonesia Raya" tampaknya akan diubah setelah mendapati kritikan sebagian kecil pihak tertentu?

Sebagian oknum agamawan atau yang memosisikan diri sebagai agamawan seringkali menempatkan diri sebagai sensor moralitas manusia dalam kehidupan? Meskipun sebenarnya agamawan tersebut adalah manusia biasa juga? Beberapa oknum agamawan spontan saja "marah" kalau keyakinan agamanya disinggung orang lain? Padahal, ia sendiri kadang juga mengabaikan ajaran agama yang dianutnya?

Pada awal munculnya sebuah agama, kerap mendapati perlawanan dari raja atau tokoh setempat, sehingga pengikut agama baru disiksa. Tetapi, ketika agama menguasai kerajaan, mereka kadang melakukan hal yang mirip, serupa?

Bila dulu, Namrud, Firaun, Abu Jahal, Abu Lahab, dan lainnya kerap menghinakan orang beragama, sedangkan kini tampaknya orang beragama merendahkan orang yang ateis atau kurang mengamalkan agama. Bahkan ada yang melakukan "penindasan" terhadap orang lain di luar keyakinan mereka.

Memang, persolan sensor bukan monopoli agama, termasuk ilmu pengetahuan, politik, militer, ekonomi, dan filsafat lainnya andai berlebihan?

Cuma, kalau hal itu kerap terjadi, sensor agamawan misalnya, dapat mereduksi seolah semua persoalan dikaitkan bersifat moral? Padahal, revolusi Prancis misalnya menumbangkan kuasa raja dan agamawan menjadi demokrasi, revolusi industri mengubah lahan pertanian jadi perdagangan, revolusi ilmiah mengubah khayalan menjadi kenyataan, revolusi informasi mengubah koneksi dan hubungan dalam berbagai bidang, dan begitulah seterusnya.

Dalam filsafat moral kesalahan bersifat pribadi, tetapi psikologi sosial dan sosiolog mengatakan permasalahan bersifat sosial atau tatanan sosial? Semula tanggung jawab pribadi menjadi tanggung jawab sosial. Atau setidaknya, urusan pemerintah?

Nah, ketika agamawan yang kurang tawaduk mengambil alih persoalan nasional, ia beranggapan masalahnya ada pada orang lain atau bangsa lain. Padahal, agamawa menelisik masalah utama terdapat dalam dirinya sendiri secara internal. Di situlah agamawan menjadi pejuang kalau ia menyadari secara reflektif diri sendiri dan kemanusiaan. Namun, begitu si agamawan menyasar masalah pada luar diri dan orang lain, pastilah teori konspirasi berseliweran dan digemari oleh mereka. Padahal, itu cuma fitnah dan hoax?

Secara pribadi saya mengatakan kepada kita sesama umat Islam, perlunya kita umat Islam melakukan kritik internal. Irshad Manji meskipun kita tidak setuju dengan pendapatnya dan menyebutnya dirinya sebagai "Muslimah Lesbi?" Tapi, apa yang diucapkannya dapat kita renungkan juga, ia kurang lebih pernah berkata: "Beberapa orang Islam menuntut kebebasan dan hak saat berada di Eropa Barat, padahal hal yang sama tidak bisa mereka lakukan bahkan teriakkan di negara asal mereka?" Artinya, kita perlu juga mengakui ada persoalan pribadi dalam diri kita, bukan persoalan Islam, melainkan prasangka pribadi yang kadang kita carikan alasannya dalam agama.

Ada banyak contoh ilmuwan Islam pada akhirnya berkarier di Eropa Barat daripada di negara asal, karena di Barat mereka bebas saja melakukan penelitian bahkan komentar, sedangkan di negara sendiri, sedikit sekali beda pendapat apalagi menyangkut agama. Langsung ada ancaman bunuh atau usir, sebagaimana misalnya dialami Fazlur Rahman dan Nashar Hamid Abu Zaid, karena pendapat yang dianggap ulama setempat nyeleneh terpaksa mereka ke luar negeri.

Di Indonesia, kita perlu waspadai hal itu jika kita beranggapan demokrasi lebih beruntung daripada otokrasi. Misalnya, ketika tema artikel BPIP mengenai hukum hormat bendera, sebaiknya dibiarkan saja sampai kepada tahap pengumuman. Baru diperdebatkan secara ilmiah. Kajian ilmiah jangan terlalu dicampur berlebihan ke politik. Meskipun saling mempengaruhi.

Apalagi kalau oknum "agamawan" ngomong sana sini atas persepsinya yang autobiografis, dicampuri dengan rasa riya, sumah, ujub, dan takabur. Itu menjadi agak sulit jadi dialogis, dalam hal itu Al-Ghazali pernah mengingatkan hanya dalam sufi ketenangan jiwanya syahdu. Karena ilmu lain, hanya perdebatan teologis-epistemologi bahwa akulah yang takabur? Bukan tadawuk?

Sensor agamawan meskipun ada, perlu dilakukan lebih rendah hati dan itu ajaran agama. Tapi kalau sudah mematok harus itu. Bubarkan saja BPIP? Itu tampaknya lebih sebagai kepercayaan diri yang bercampur kecongkakan sekaligus kekolotan berdemokrasi?

Kalau BPIP mengubah judul atas masukan berbagai pihak, tidak masalah apalagi demi kepentingan bangsa. Cuma, kita berharap kalau pada akhirnya kelak masih ada orang yang mengharamkan dan mensyikkkan hormat bendera dan lagu Indonesia Raya. Mestinya, mereka yang menolak judul artikel lomba kini, dihadapkan kepada mereka?

Seharusnya, kita tak perlu berlebihan membantah sesuatu yang masih ada dalam diri kita, khususnya saat ini. Mestinya kita akui. Memang agak berat mengakui atau menerima kita dituduh orang lain "teroris?" Tapi, begitu bom meledak kita keteteran juga lari terbirit-birit, tunggang langgang? Horas! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun