Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Ada Sidik Jari "Tuhan" dalam Kecelakaan Pesawat Sriwijaya SJ 182?

21 Mei 2021   12:14 Diperbarui: 21 Mei 2021   12:48 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, saya tetap menyampaikan rasa duka dan empati kepada korban dan keluarga korban pesawat Sriwijaya SJ 182 yang lewat. Dan saya tak bermaksud membuka luka korban dan keluarganya.

Kedua, saya bukan ahli perpesawatan dan tidak banyak tahu tentang ilmu teknik.

Ketiga,kapasitas saya adalah jurusan agama. Dalam hal ini, banyak pihak ketika peristiwa itu terjadi mengaitkan kecelakaan kepada Tuhan. Misalnya mohon maaf almarhum Kapten Afwan dikatakan di media sosial ada tanda sebelum datangnya maut yang menyebutkan narasi bahwa pilot Sriwijaya Air SJ 182 Kapten Afwan sedang bernyanyi, "jangan ditanya ke amana aku pergi?" Belakangan diketahui kabar lagu viral itu hoaks, padahal Abdul Ghafur?

Pada bagian lain, banyak orang menghubungkan sang Kapten sebagai seorang yang agamis dan taat beragama, sampai ada yang berkesimpulan bahwa "Tuhan" merindukan orang baik ke sisi-Nya?

Banyak kejadian serupa dikaitkan kepada Tuhan, seperti kecelakaan. Mungkin maksudnya untuk menghibur korban dan keluarga korban agar tetap tabah. Sehingga dikatakan Tuhan mempunyai rencana baik di balik itu? Atau semacam ujian menambah keimanan?

Belum lagi misalnya ada satu yang tertinggal dari pesawat karena telat berkomentar atau diminta tanggapan oleh wartawan, dengan sedikit agamis si penumpang selamat berkata, "Saya merasa bersyukur karena Tuhan masih melindungi saya?" Seakan Tuhan berpihak padanya sedangkan yang korban tampaknya pada posisi "jauh dari Tuhan?"

Apakah maksud kita membela Tuhan atau si korban dalam kejadian kecelakaan seperti di atas? Tapi, Tuhan kerap dimaknai hadir dalam setiap kejadian termasuk kecelakaan pesawat?

Barangkali ke depan, kita perlu dalam penggunaan atau pengaitan "Tuhan" dalam kejadian tragis seperti musibah kecelakaan. Jangan sampai Tuhan dipersepsikan sebagai penghukum atau penguji yang begitu "tega" terhadap manusia?

Saya yakin Tuhan di pihak manusia, dan tidak mengharapkan kecelakaan tragis menimpa manusia. Namun, dengan akal kecerdasan yang dianugerahi Tuhan kepada manusia. Salah satunya manusia membuat pesawat. Sehingga katakanlah hukum fisika atau hukum besi berlaku di situ. Kelalaian sedikit saja yang dibuat manusia berakibat fatal kemudian. Oleh karena itu, para ahli perlu belajar dan meneliti kembali terkait pesawat agar kecelakaan serupa terhindari.

Kalau itu tetap terjadi, Tuhan berada di pihak manusia katakanlah yang korban dan keluarganya agar tetap tabah dan sabar memulai hidup dan menjalani hidup ini dengan segala dinamikanya. Tuhan menguatkan semangat hidup keluarga korban. 

Ada pun kita, dapat berempati. Juga tak perlu secara latah membaca "pikiran" Tuhan terkait peristiwa itu lalu disampaikan kepada keluarga korban secara kurang empatik. Barangkali bagusan kita diam seribu bahasa dan menunjukkan sikap dan perbuatan tulus membantu keluarga korban. Bukan dengan ceramah teologis?

Jangan sampai kita akhirnya agar "malu?" Karena pada akhirnya seperti kecelakaan pesawat di atas disimpulkan, sebanyak 16 keluarga korban yang tewas dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 menggugat The Boeing Company. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Tinggi King County di Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, melalui Herrmann Law Group. "Kami sudah mendaftarkan gugatan hukum ke pengadilan wilayah bagian Washington. Mudah-mudahan akan ada tambahan gugatan (dari keluarga korban) karena semakin banyak klien lagi," ujar pengacara utama kasus Herrmann Law Group Mark Lindquist dalam konferensi pers di Hotel Fairmont, Kamis (20/5/2021).

Gugatan tersebut menuduh Boeing gagal memperingatkan maskapai penerbangan dan pengguna lainnya tentang cacat pada throttle otomatis (autothrottle) dan bahayanya memarkir pesawat selama beberapa bulan. Seperti diketahui, penerbangan Sriwijaya Air Flight SJ 182 yang jatuh di Laut Jawa menggunakan pesawat Boeing 737-500. Pesawat tersebut telah diparkir selama sembilan bulan selama pandemi. (Kompas.Com).
 

Alhasil, tidak terdapat "sidik jari Tuhan?" dalam kejadiaan tragis itu. Itu lebih sebagai kelalaian atau kealpaan kita sebagai manusia dalam mengelo hukum besi atau pesawat yang kita miliki? Dan saya kira setiap yang terlibat mesti bertanggung jawab dan mengakui hal itu.

Tuhan menguatkan kita dan tidak pernah bermaksud melukai manusia, siapun dia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun