Idul Fitri terjadi pada bulan Syawal. Tepatnya 1 Syawal dengan perhitungan kalender Qamariyah. Cuma, nama Idul Fitri kadang lebih popular melebihi nama bulannya.
Dan kalau Anda ketemu dengan perempuan yang bernama "Fitri." Tebak saja lahirnya masa Idul Fitri? Tidak harus pas tanggal 1, tetapi sebulan penuh itu.
Serupa halnya dengan laki-laki yang bernama: Syawal, lahirnya semasa Idul Fitri; sebulan Syawal itu.
Begitulah satu cara kita mengabadikan hari besar keagamaan atau bersejarah itu dengan mengaitkannya pada nama kelahiran bayi.
Sebagai guru di sekolah, saya terbiasa mengabsensi pelajar secara abjad. Betapa banyak yang namanya fitri dengan turunan katanya, fithri, fithriah, fithriyah, fithra, fithrah, fithraha, atau lebih Indonesia tanpa huruf "h" menjadi  fitri, fitriah, fitriyah, fitra, fitrah, fitraha.
Dari sekian banyak ramuan kata fitri menjadi nama perempuan, hanya nama "Fathir" yang bergaya laki-laki.
Ada pun, Syawal sudah umum menjadi nama laki-laki. Jika ingin menjadi nama perempuan, bisa dibuat, misalnya, Syawaliyah.
Jadi, nama itu sangat penting. Nama besar artinya. Nama sebagai identitas. Nama menjadi karakter. Nama menjadi doa. Nama menunjukkan keyakinan. Nama menggambarkan daerah asal. Nama menandakan seorang dibanding lainnya.
Meski demikian, kadang ada yang menyebut, apalah artinya sebuah nama? Mungkin ia beralasan, ada orang namanya si "Cantik?" Namun, jeleknya maksimal? Ada nama si "Bagus?" Tapi, perilakunya sedemikian buruk?
Sebagai guru sekolah, saya memerhatikan nama yang paling baik sekalipun kadang dibuat siswa yang agak nakal menjadi panggilan buruk. Nah, pembuatan nama perlu dibuat sebaik mungkin. Setidaknya si anak merasa berharga dan penting dengan namanya. Atau dia mampu memaknai namanya menjadi positif bahkan yang dipleseti orang lain secara negatif.
Kadang, kalau saya perhatikan nama di media social, seperti facebook, ada orang yang menukar nama aslinya. Aku kira, orang yang demikian kurang menghargai nama atau yang memberi namanya. Saya rasa sangat penting merasa syukur dan bangga serta berharga atas nama yang kita miliki.
Biarpun, nama itu nama popular atau bahkan terasa ketinggalan zaman. Saat mengabsen nama peserta didik di sekolah, saya merasakan harapan, doa, dan tujuan orangtua terhadap nama anaknya.
Ada yang bilang kalau mau jadi presiden di Indonesia harus mempunyai huruf "O" yang mohon maaf diidentifikasi dengan suku tertentu? Saya rasa tidaklah selalu demikian? Konstitusi kita berkata majemuk dan setara, setiap orang Indonesia dapat menjadi pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H