Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengemas Cemas dengan Cara Cerdas

23 April 2020   11:52 Diperbarui: 24 April 2020   13:47 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kecemasan (Sumber gambar: www.thehealthsite.com)

Apapun jenis kata, bahasa, istilah, dan ungkapannya, kita pasti pernah merasakan cemas, takut, gelisah, anxious, worry, qalaq, khawatir, waswas, khauf, dan sifat-sikap berlebihan sinonim lainnya dengan cemas?

Kenapa cemas? Jawaban di sini nantinya lebih bersifat personal, yang pernah mengalaminya dan berupaya menyelaminya untuk kemudian dikelola dengan baik. 

Jadi, jawaban ini bersifat pribadi dan subjektif, tetapi tentu saja karena kecemasan bersifat umum dan barangkali juga universal dalam arti pernah dialami umumnya manusia dari laki-laki, perempuan, warna kulit, suku, budaya, etnis, dan bangsa yang berbeda, tetapi sama mengalami kecemasan.

Sekali lagi, ini lebih bersifat personal ketimbang profesional psikolog. Tapi jangan menyepelekan cara personal, sebab yang sifatnya pribadi juga gejala umum. Sehingga psikolog terbaik adalah diri sendiri. Sebab, bahkan banyak psikolog lebih bermasalah daripada pasien atau kliennya, sehingga dengan begitu, ia dapat menangani masalah orang. 

Ini tidak berarti, menderita dulu baru psikologl. Tapi, ya semacam refleksi diri, psikolog paling profesional pun masih mengalami keterbatasan, untuk kerendahan hati.

Jadi, saya lebih banyak memanfaatkan penulisan ini sebagai guru. saya menganalisis diri saya. Data tambahan sebagai guru, saya berhadapan dengan banyak peserta didik dari tingkat dasar hingga mahasiswa perguruan tinggi. 

Setelah saya mengamati ada banyak rasa cemas, takut yang dialami oleh para siswa saya. Meskipun mereka para siswa, sama saja yang dialami anak-anak juga banyak dirasakan orang dewasa kalau kita dengan jeli lebih teliti mengamatinya.

Karena jenis kecemasan bermacam-macam, seperti daftar menu makanan, minuman di restoran. Setiap orang memiliki ragam dan tingkat kecemasan berbeda. Misalnya, ada orang mencemaskan dirinya di depan umum. Ada orang yang cemas berpidato. Ada orang bisa cemas kalau bertemu dengan pihak tertentu. Ada orang cemas terkait dengan rumah, uang, mobil, kerja. Ada orang cemas terkait dengan pasangan, anak, dan mertua. Ada orang cemas dengan masalah kesehatan. Sehingga detak atau debaran jantung langsung dibayangkannya "penyakit jantung?" Padahal, mungkin jatuh cinta saja!

Sumber Ilustrasi. Foto: Health. JPNN.Com
Sumber Ilustrasi. Foto: Health. JPNN.Com
Dulu, yang paling saya cemaskan "berbahasa Indonesia kepada orang lain, karena saya belum bisa bahasa Indonesia." Dulu, saya berperasaan ragu, bahasa Indonesia, kata dan diksi apa yang harus saya sampaikan. Tapi, kini seiring dengan proses banyak orang yang saya jumpai dengan latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda, saya menyadari kecemasan berbahasa saya "berlebihan?" Tak perlu lagi dipertahankan, jika saya ingin berbicara dengan jamak orang. Akhirnya, kecemasan berbahasa Indonesia teratasi. Memang, saya memiliki modal keberanian berlipat sejak kecil sehingga tantangan itu tidak kunjung membuat saya sakit perut.

Coba perhatikan, banyak pelajar atau bahkan mahasiswa sesaat menunggu sidang skripsi, saya mengamati banyak yang bolak-balik ke wc atau toilet, mungkin karena rasa cemas sampai membuat mereka beser dan "menceret?" Karena mereka membayangkan sidang skripsi seperti Masito di hadapan Raja Firaun?

Ada kawan saya yang pernah "jatuh cinta pada seseorang" yang pada malam harinya dia mengkhayal besok hari akan menemui langsung idolanya. Begitu siang hari, ia hanya mematung (berhala, idol) karena cemas, dan tidak kuat berhadapan dengan si dia.

Ada orang dewasa harus bolak-balik 5-7 kali di depan pintu kantor sebelum berani mengetuk atau memencet bel tanda masuk. Itu jenis kecemasan yang mengemas ketakutan berlebihan.

Silakan isi dulu daftar atau jenis kecemasan yang dirasakan, lalu akui itu dan kelola dengan lebih baik. Itulah, resep mujarabanya.

Pertama, akui dan tandai jenis kecemasan itu. Mengakui kecemasan pribadi menjadi cara cerdas menanganinya. Kalau, tidak menyadari jenis kecemasanmu berarti Anda tidak punya kecemasan itu. Jadi, beruntunglah! Atau konsultasikan dulu dengan ahli.  Seperti kasus saya, saya mengalami sedikit kecemasan berbahasa Indonesia, saya praktikkan kepada banyak orang. Akhirnya, kecemasan itu sirna. Anda, silakan cari tahu dulu jenis kecemasan: akui dulu. Itu, yang saya tahu cara cepat mengelola cemas. 

Kedua, umumnya kecemasan bersifat perasaan, pikiran, persepsi, penafsiran, khayalan, dugaan, hipotesis, dan akhirnya dicari bukti pembenaran gagasan itu.  Maksudnya begini, Anda mempunyai gagasan kecemasan. Lalu, Anda mencari bukti, argumen, atau fakta bahwa memang Anda benar-benar dan sangat cemas. Itu, permainan dengan perasaan atau pikiran yang dihubungan dengan fakta seakan benar. Padahal, tidak sepertinya begitu.

Sebagai guru yang mengajarkan "Ilmu Akidah dan Akhlak," saya mempelajari keyakinan seseorang terbentuk. Banyak faktor dan aspeknya. Misalnya, Anda yakin Tuhan ada. Dari mana datang keyakinan itu? Siapa yang mengajakannya? Sampai Anda yakin. Itu semua bersumber dari banyak hal secara internal dan ekstrenal, potensi pribadi, dan sosial bahkan alamiah. 

Kebanyakan keyakinan orang persis seorang pengacara dalam debat hukum. Ia mencari pasal untuk mendukung pendapatnya yang disertai dengan bukti dan saksi-saksi.

Begitulah analogi banyak orang dalam keyakinan dan termasuk kecemasan. Anda ingin mendukung kecemasan dalam diri Anda, karena merasa ada manfaatnya, kecemasan semakin kuat bahkan setara keyakinan yang tidak bisa digantikan dengan keyakinan lain. Sebaliknya, kalau Anda menyadari kecemasan menghancurkan Anda, carilah alasan yang bersifat khayali sekalipun dalam perasaan dan pikiran. Lambat laun, kecemasan bergeser, bahkan ditukar dengan keyakinan lain. Pindah kecemasan!

Ketiga, berperasaan dan berpikirlah lebih positif. Cari hikmah setiap peristiwa bahkan bencana alam sekalipun. Cari sisi positifnya sekalipun spekulasi khayalan atau gambaran persepsi saja. Apalagi kecemasan hanya berupa bencana psikologis? Di sini juga mencakup relasi sosial, pergaulan yang lebih positif.

Keempat, jauhi melakukan dosa dan pelanggaran. Sesungguhnya, sumber dari segala kecemasan adalah rasa bersalah karena melakukan atau ingin melakukan sesuatu yang melanggar agama, norma, susila, sosial, dan termasuk melanggar aturan pemerintah. Itu semua mendorong lahirnya rasa cemas yang sulit termatikan sebagaimana umur iblis hingga kiamat. Umur kecemasan Anda kalau terus dengan perbuatan dosa, musuh, dan pelanggaran panjang sampai Anda meninggal dunia. Barangkali juga menjadi warisan "kecemasan" bagi keturunan dan keluarga. Bukan secara genetis, melainkan lebih psikologis?

Saya rasa, itulah di antara cara cerdas mengemas cemas. Sebagaimana seorang dokter yang bijak, seorang pasien mengatakan kepada dokter dengan penuh keyakinan bahwa dalam perutnya ada ular. Si dokter bijak tidak membantah, malahan dengan empetik mendengar keluhan pasiennya sampai ia merasa sudah puas. Sesaat kemudian, si dokter ke belakang mengambil pakaian dokter yang mirip jas, seraya menggunakan ilmu sulap yang pernah dipelajarinya untuk menarik atau mengambil ular dari perut pasien. 

Lalu, si dokter menunjukkan kepada pasiennya itu bahwa ular telah dikeluarkan dari perut pasien sebagaimana penuturannya. Si pasien sangat gembira dan memuji si dokter benar-benar profesional, karena sebelumnya si pasien mengunjungi banyak dokter mengatakan ada ular di perutnya. Kebanyakan dokter itu membantahnya dan tidak yakin dengan penuturannya, sehingga katanya mereka semua dokter bodoh? Hanya, "kaulah dokter cerdas, profesional, papar si pasien. Bagi dokter ini, ini lebih sebagai pengobatan "sulap" dibanding medis. Karena, pasiennya memiliki penyakit kecemasan berlebihan.

Jadi, ada saatnya, khayalan dan imajinasi lebih cerdas daripada sekadar rasional bahkan eksperimen saintis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun