Dari Balikpapan ke Tremas
Yudian Wahyudi sebagaimana diungkapnya lewat lisan dan tulisan berasal dari Balikpapan. Ayahnya, seorang tentara dari Banyumas, sedangkan ibunya berasal dari Yogyakarta. Yudian anak ke-6 dari 16 bersaudara. Jumlah yang jamak sehingga Yudian menegaskan harus menjadi berhasil. Sewaktu SD di Balikpapan, Yudian katanya kunjung tawuran (sekaligus suka renang, mancing dan cari buah karamunting), sampai ayahnya membuangnya (menyantrikannya) ke Pesantren Tremas Pacitan. Â Â Â Â Â Â
Selama menyantri enam hingga tujuh tahun karena mengambil ujian negara. Kala itu, jamak tamatan pesantren tidak mempunyai ijazah. Maka Yudian tampaknya sangat beruntung dengan arahan dari ayahnya agar mengikuti ujian negara. Sekaligus, Yudian paham betul manfaat menyandang ijazah secara administratif. Pantaslah kalau kemudian, Yudian mengkritik Nadiem Makarim (Mendikbud) yang seakan menyepelekan pentingnya ijazah atau gelar sarjana? Belakangan, tentu saja Yudian dan Makarim dapat memadukan kembali cara pandang mereka.
Dari Tremas, IAIN--Kanada, Amerika
Setelah tamat pesantren, Yudian menyambung ke IAIN Sunan Kalijaga sekaligus menyambung filsafat Barat di UGM. Di situlah, Yudian merasakan betapa sulitnya kuliah dan hidup. Gesekan ekonomi memaksa dirinya menjadi kurir kerupuk dan kernet. Sebelum akhirnya, ia bertekad dengan pilihan hidup menjadi penerjemah dan penulis. Filosofinya waktu itu, "selamat datang kematian" diilhami Surah Al-Mulk ayat 2. Sekaligus mungkin saja, Yudian mengingat ilmu pesantrenan, dengan shalat hajat seraya berdoa masuk Harvard. Doa yang ditertawakan sebagian koleganya, tetapi menjadi makbul, berproses kemudian.
Berawal dari kebijakan Menteri Agama RI Â Munawir Sjadzali (1993-1998) membuat program pembibitan dosen IAIN se-Indonesia, 1988. Yudian terpilih dalam program itu. Meskipun, persyaratan utamanya IPK, bahasa Arab dan Inggris. Ia mengakui pas-pasan saja. Tetapi, rangkap kuliah di IAIN dan UGM menambah nilai plusnya. Persis prinsipnya membeli sejarah ibarat nafilah akademik. Maka hasilnya, IPK dan bahasa Inggris yang cukup ditambali dengan rangkap kuliah dan hasil terjemahan bekal lolos beasiswa.
Walhasil, Yudian bersama temannya ke Kanada, dengan bahasa Inggrisnya wasatiyah. Tapi, bahasa Arabnya mahir, sehingga kemudian Yudian sering mengatakan orang yang mampu berbahasa Arab akan mudah menguasai bahasa Inggris. Yudian pun menjadi jago bahasa Inggris, Prancis, dan khusus Jerman (tambah Pak Sahiron).
Yudian Wahyudi berjihad ilmiah berupa publikasi ilmiah internasional di luar negeri, menulis jurnal internasional dan menjadi pembicara internasional. Yang sebelumnya dianggap hutan belantara oleh seniornya. Yudian berjihad ilmiah layaknya pemburu militer membidik sasaran. Jihad, serius, sabar, tahan uji, dan tantangan membuat Yudian seperti robot atau mesin dalam membaca, menerjemah, mereview, menulis dengan jadwal ketat hingga jarinya pernah tidak bisa bergerak, hampir mati rasa. Termasuk istri mulai sedikit agak "protes?"
Sampai-sampai juga, Dr Moshe Maoz (Profesor dari Harvard University) bertanya takjub, kapan Anda tidur Yudian? Momentum yang juga mengundang perhatian Prof Howard M Federspiel agar Yudian ingat anak dan istri. Hasilnya, Yudian menjadi penulis dan pembicara internasional, lintas benua dari Afrika, Australia, Eropa, dan Amerika.
Tidak hanya kuliah, Yudian juga organisator, Ketua Permika Montreal 1997, presiden Pendiri Indonesia Academic Society 1998-1999, Anggota Middle East Studies Association sejak 1997, dan Anggota American Academy of Religion sejak 1998. Salah satu saksi sekaligus sahabat akrabnya adalah Sahiron Syamsuddin yang menembus jurnal internasional dan menjadi pembicara internasional. Kini Pak Sahiron menjabat Plt rektor UIN Yogyakarta.
Hatta, Yudianlah dosen PTAIN pertama yang menerbitkan karya di Oxford University Press, berkantor di Harvard Law School dan menjadi anggota American Association of University Professors! Kini, juga ia presiden President of Asian Islamic Universities Association (AIUA).