Sederetan pejabat negara hingga artis tampil pada pengajian Ustaz Kondang Abdul Somad. Di antara petinggi negeri ini, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla pernah hadir dalam jamaah Ust. Somad. Sederetan artis, seperti Master Limbad yang mengajukan pertanyaan terkait dengan hukum pria miliki rambut gimbal. Begitu juga, Teuku Wisni, Dude Herlino, Sahrul Gunawan, dan sederet artis lainnya yang menghadiri pengajian Ust. Somad. Sampai artis Dewi Sandra  dan anggota DPD RI, Fahira Idris mengagumi Ustaz Abdul Somad.Â
Baik-baik saja. Syukurah gairah keagamaan di kalangan pejabat negara hingga artis Indonesia mengidola ustaz sekaliber Abdul Somad. Cuma, ada sedikit mungkin masalah kita di Indonesia, yakni terlalu mudah kagum. Setelah itu, terlalu lumrah benci agak berlebihan.Â
Aku kasih contoh, bagaimana misalnya presiden di Indonesia awalnya diidolakan, tetapi akhirnya agak diabaikan. Sebut jugalah tokoh idola publik, seperti Aa Gym dan Mario Teguh. Tapi, begitu mengetahui sedikit persoalan keluarga mereka, keduanya ditinggalkan publik serta merta. Untung, Aa Gym sudah mulai tayang di televisi, sedangkan Mario Teguh dengan motivator supernya, seakan hilang dari permukaan.
Kita sepertinya, kurang menerima dualitas kemanusiaan, berpotensi baik dan buruk. Adakalanya, mereka yang kita idolakan itu terlanjur khilaf atau salah. Lalu, kita tak menerimanya lagi. Kita berasumsi, mereka si tokoh berubah. Padahal, dia yang kita sanjung dulu merupakan dia pulalah yang kita kecam habis kini.
Siapakah yang salah? Mereka si tokohkah? Ataukah cara pandang kemanusiaan kita yang turut berubah? Konon, seorang pebisnis mencari pria tampan untuk menjajakan produk bisnisnya lalu ia menemukannya. Beberapa tahun kemudian, si bisnisman mencari pria paling berwajah buruk di jagat untuk menggambarkan sindiran terhadap produk saingannya. Saat mencari pria sinting di jalanan, seorang setengah waras menegurnya, hei aku dulu pernah menjadi iklan produkmu. Sekarang bisakah aku diiklankan kembali. Si bisnisman mengambil potretnya. Artinya, pria yang sama digunakan dengan konteks berbeda, dengan tujuan kurang lebih sama?
Itu tak hanya terkait tokoh, tetapi dalam keluarga kita. Kita merasa orangtua, pasangan, anak kita berubah dan berbeda?
Lalu, apa lagi?
Pada bagian lain, karena kita mengidolakan tokoh tertentu, kita di Indonesia sedikit agak sensitif dan lumayan reaktif  setiap ada persoalan tokoh publik, kita menunjukkan emosi pembelaan  kepada tokoh kita. Dalam batas tertentu, hal itu wajar dan menunjukkan  kita masih punya rasa. Cuma, kalaulah setiap tokoh yang kita jagokan  agak disepelekan, spontan saja kita agak murka. Sedikit agak kurang baik  demi kemajuan umat dan pemberdayaan masyarakat. Kita dapat terjebak  berpolemik bahkan berkonflik terkait dengan seorang. Sampai kita lupa  nilai dan prinsip universal yang perlu diperjuangkan si tokoh yang kita  idolai itu.
Bahkan bisa jadi, kita mati-matian membela  seorang tokoh idola terkenal, sekaligus mengabaikan pesan dan tindakan  baik yang dipeloporinya. Namun, kita masih dengan mudah berguman, aku  pengikut dia?
Sebagai contoh aktual, akhir bulan Februari, 24/2/2014, akun milik ustaz Ustaz Abdul Somad sempat tidak bisa diakses. Sontak saja banyak jamaah dan warganet berempati kepada Ust Somad serta berkomentar agak miring kepada pihak Instagram. Memang, ada beberapa kali kasus Ustaz Somad agak ditolak komunitas tertentu. Bahkan petugas bandara di Hong Kong pernah menolak kunjungan Ustaz Abdul Somad, Sabtu 23 Desember 2017.Â
Tetapi, kalaulah boleh kita mengambil sisi hikmah dan positif dari pembatalan-penolakan kehadiran Ust. Somad di pengajian, dan hingga pemblokiran Instagram terhadap Ustaz Abdul Somad merupakan garam pengasin semakin membuat si Ustaz Somad terkenal.
Kita yang terlanjur geram, garang, dan marah-marah gara-gara membela penolakan itu, tak dapat tidak, belum cukup terkenal. Maka dari itu, jangan geram pada Instagram. Anggaplah sebuah penolakan sebagai garam untuk semakin populer, kalau bisa biar tambah rendah hati.
Saya tidak mengatakan Ustaz Somad hanya ingin terkenal dan popularitas dengan peristiwa itu. Tidak begitu maksud saya sama sekali. Menurut penuturan sahabat Ustaz Somad, beliau orang yang tawaduk, ikhlas, dan tak berharap popularitas semata. Semoga demikian. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H