Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu-satunya Buku, Pembelaan Guru yang Konfrontatif & Emosional yang Ditulis Guru

11 Januari 2018   12:08 Diperbarui: 11 Januari 2018   12:30 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Penerbit Deepublish Jogja

Ini, agak narsis, promosif, dan bahkan provokatif. Saat seorang meresensi buku atau menjual karya atau produknya kepada khalayak ramai, terutama di media sosial semacam ini. Mohon maaf kalau ini salah, kalian dapat menghapus postingan ini dan pembaca berhak melewatkan ini tanpa mengklik atau membacanya, apalagi harus membelinya!

Aku berharap tidak seperti sebagian oknum "salesman" yang baru ditraining ke lapangan praktis, begitu pede berlebihan (percaya diri bercampur kesombongan) mengetuki pintu rumah orang lain. 

Dor to dor, face to face... Begitu menatap mangsa pembeli langsung bereaksi dengan senjata "omongan" tanpa jeda. Mendekati hipnotis, paling tidak sugesti, yang si salesman baru terus berbicara dengan gestur meyakinkan. Setelah, ditraining secara SMP; sikap mental positif?

Meski begitu, aku berharap dapat sedikit meniru gaya salesman, yang begitu pede menjual produk di mana saja. Dari rumah ke rumah, mengetuk pintu rumah, mengobrolkan jualan ke tangga, ke kedai kopi, ke terminal, ke stasiun, ke loket, bahkan ke dalam bus penumpang. 

Kalaulah para politisi kita berkampanye ala salesman, seperti Presiden Barack Obama dulu, yang berkampanye atau menyapa secara pribadi, dari perempatan jalan, halte bus, salon, hingga membersihkan selokan serta mengecat rumah kumuh.

Saya sedikit cukup sangsi terhadap kemampuan diri saya dan pendistribusian buku saya ke toko buku. Apakah kiranya, ada pembeli atau pembaca yang tertarik dengan karya saya ini. Meski kemudian, kadang timbul kepedean yang berlebihan, masih berkhayal buku saya menimbulkan kontroversi nasional pendidikan. 

Apalagi saya menyebut tiga nama Mendikbud di judulnya, dari M Nuh, Anies Baswedan, hingga Muhadjir Effendy. Anies misalnya menjadi Gubernur DKI Jakarta kini, saya menatap kebijakannya lebih negatif dalam pendidikan selama ia menteri pendidikan. Jika, banyak orang menangisi pencopotan Pak Anies dari Mendikbud, saya sendiri justru menilai pencopotannya agak telat. 

Semasa kampanye Pilpres 2014, Anies dalam mendukung Pak Jokowi-JK, menyebut Pak Prabowo masa lalu, sedangkan Pak Jokowi masa depan. Kini, setelah Anies diusung Partai Gerindra binaan Pak Prabowo dan menjabat Gubernur DKI Jakarta, aku belum dengar komentar Anies: "Pak Jokowi masa lalu, sedangkan Pak Prabowo masa depan?"

Begitulah fleksibilitas politik meranah dunia pendidikan. Jika kita sedikit berlatih serius, janganlah terbuai dengan pidato, sambutan, kata-kata, kalimat, bimbingan, dan motivasi berbagai pihak mengenai pendidikan. Cukup sudah kita terbuai dengan kata-kata berbunga-bunga dan puistis yang menyalah-nyalahkan guru sebagai biang kerok utama masalah pendidikan.

Penulis buku ini, saya, sedikit terkesan menggurui Mendikbud, oknum struktural kependidikan, widyaiswara pendidikan, dosen instruktur guru, tutor, pengawas guru, kepala sekolah, dan siapa saja yang manatarai dan mendiklati guru. Bahwa kata kunci dari penulis buku ini, masalah utama pendidikan bukanlah guru, melainkan bersifat struktural, birokratis, manajerial, bahkan ekonomis dan politis serta suapis? Sehingga independensi guru dicaplok dari tangan guru dan sekolah.

Sumber: Penerbit Deepublish
Sumber: Penerbit Deepublish
Nah, dengan menyungsang logika dan emosi guru, penulis buku ini berkhayal para guru lebih konfrontatif dan emosional terhadap siapa saja yang menyasar masalah pendidikan semata salah guru.

Melalui kenekatan berkonfrontasi bahkan emosional; bertempur atau kabur? Buku ini menyulut api bertempur guru untuk melalap siapa saja penista guru di hadapan guru.

Sebagian teman guru yang mendengar penjelasan saya terkait membela guru cukup terpanasi untuk konfrontasi dan konflik terhadap oknum pemaksa guru secara struktural. Namun, begitu mereka berhadapan nafsu, hasrat, dan gairah melawan mereka luluh seketika? Beberapa kawan guru hanya berani melawan oknum atasan kependidikan dari jauh atau belakang, dengan menggosipi atau mengaibi? 

Nah, buku ini mungkin dapat membangkitkan emosi marah guru sampai tega konfrontasi dan bahkan konflik? Tapi, setelah itu bersiaplah dengan ancaman bahkan putusan mutasi atau dipindahkan dari tempat tugas yang nyaman menuju wilayah terpencil, sebagai usaha pengucilan dari orang yang mempunyai jabatan struktural.

Rekan guru yang sudah nyaman di rumah dan posisi aman di sekolah, bisa jadi membeli dan membaca buku menjadi pemicu konflik keluarga dan sekolah-apalagi kalau sampai gagasan dalam buku ini diujicobakan. Oleh karena, kalian berhak tidak membaca, apalagi membelinya. Tapi, saya sendiri tidak bermaksud menceraiberaikan hubungan keluarga, rekan kerja, dan sosial kalian yang akrab.

Kata orang dalam resensi buku, bukanlah promosi. Karena itu, saya ngomong, kalian berhak tidak membaca dan membeli buku ini. Kalau sudah terlanjur dan menyesal membeli dan membacanya, kalian dapat menulis surat atau menelepon saya, di bagian belakang ada alamat lengkap serta nomor handphone saya. 

Kadang, saya berkhayal buku ini memicu kontroversi biar derajat saya dan guru sedikit terangkat secara nasional? Ahai!

Semacam propadanda media menjulang nilai ekonomis dan popularitasnya?

Saran terakhir dari penulis buku ini: berpikirlah negatif, dengan perasaan positif agar lebih konfrontatif dan emosional membela guru.

Salam membela guru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun