Dunia penulisan atau karang-mengarang agak aneh bagi orang yang belum memasukinya. Malahan pasangan dan anak-anak dari keluarga penulis, heran menatap kelakuan keluarga mereka yang tahan di depan komputer/laptop berjam. Entah, apa saja yang mau dituliskan. Kadang, pasangan pun sudah pada protes. Ada apa sih? Apa sih gunanya terus menulis kalau tak menghasilkan duit. Si penulis, sepertinya tak hirau sebelum menyelesaikan paragrafnya. Dunia yang aneh. Mirip si gua hantu. Beberapa penulis sibuk dengan tulisannya hingga mengurung diri dalam kamar.
Itulah, enggak usah heran, ada penulis lebih top setelah ia dipenjara. Artinya, di ruangan sempit, seorang penulis dapat menghasilkan karya. Dibanding ia stress menghadapi hukuman atau fitnahan mending menjadi penulis dalam keterasingan itu.Â
Tapi, Anda, kau, aku, dan kita tak perlulah harus ke penjara dulu. Baru, bisa menjadi penulis. Tapi, kalau itu kebetulan terjadi. Bisalah dimanfaatkan sebagai sarana mengasingkan diri guna menelorkan tulisan. Itulah, di antara mengapa penulis bagi yang bukan penulis agak ganjil.
Mirip seperti dokter. Kita yang bukan dokter menatap prestisius profesi dokter. Sehingga, jurusan favorit calon mahasiswa di Indonesia ialah kedokteran. Entah kaya, entah miskin, entah pintar, entah bodoh, dan entah-entah lainnya, yang penting cobalah jurusan kedokteran. Malahan, saya pernah tatap lembaga kursus yang menjanjikan bimbingan khusus masuk kedokteran. Tapi, asal tahu saja mereka pembimbingnya bukanlah dokter. Bisa jadi, yang gagal dokter. Bahkan, belum mendapati pekerjaan yang lebih mapan?
Nah, kembali ke dokter tadi, ada orang yang bukan dokter mengira para dokter tak memiliki penyakit sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau bahkan praktikkan. Ternyata, berdasarkan sedikit wawancara kocak saya, ada saya ketahui dokter punya penyakit sesuai dengan spesialis yang ditanganinya. Kan, aneh? Lalu, kenapa dokter tak menyampaikan keluhannya kepada klien? Karena itu, rahasia perusahaan. Kalau dibongkar, pasien pada lari. Maka, lebih lumrah ditutupi.
Begitu halnya, dunia tulis-menulis. Saya pernah membaca dan bertemu dengan seorang aktivis HAM dari Jakarta. Dari buku dan bicaranya, sepertinya ia pembela dan pemberi yang sangat dermawan. Ternyata, sungguh pelit sekali. Kekikirannya berlipat. Apa contohnya? Aku meng-SMS-nya sebagai tanda silaturahmi? Tapi, tak sekalipun ia mau membalasnya. Aku jadi berpikir-ulang, bagaimana dia menjadi pegiat HAM yang gigih di seminar, tapi begitu pelitnya di luar seminar. Untuk tidak menyebutnya, tak memiliki kepekaan perasaan sosial yang dapat diandalkan.Â
Pada bagian lain, aku berjumpa dengan seorang penulis yang membanggakan buku karyanya kepada saya. Saya pikir karena kami sudah cukup lama kenal. Ia akan memberikan bukunya secara gratis pada saya. Ternyata, tidak. Malahan, ia memasarkannya kepada saya dengan harga pasar yang tak bisa ditawar-tawar. Aku pun, menolak membelinya. Inilah contoh kecil beberapa penulis sama saja dengan manusia pada umumnya. Ada yang kikirnya, semacam itu. Selidik-punya selidik, ternyata aku tahu motif utama mereka menulis demi finansial, untuk uang semata. Dalam batas tertentu tak salah. Tapi, aku rasa dua contoh kelewat batas.
Untunglah, aku masih banyak bertemu dengan penulis yang sangat dermawan. Mereka inilah yang paling layak dipergauli. Ada penulis, yang baru pertama kami ngobrol. Kontan, ia memberikan buku karya kepada saya cuma-cuma. Ada dosen, Prof, yang bahkan mengirimkan tujuh buku karyanya kepada saya secara gratis. Dikirim lewat pos hingga ke tempat tinggal saya. Aku berharap, kelak dapat membalas jasa baiknya. Mungkin, bukan saja untuk dirinya. Melainkan kepada orang lain. Meski tidak dengan buku misalnya. Ilmu menulis, bincang-bincang kepenulisan, dan pelatihan menulis gratis dapat dilakukan. Sebagai sumbangsih, cara berkontribusi penulisan terhadap orang lain.
Kita berharap, semakin banyak penulis pemberi daripada penulis penerima saja. Kepada para penulis pemberi, aku belajar kedermawanan hingga kerendahan hati. Sebaliknya, kepada penulis dalam taraf menerima saja, aku bisa belajar sedikit 'keangkuhan' kepura-puraan dan permasalahan penulis sama saja dengan manusia yang bukan penulis. Malahan, sebagian penulis yang hanya menerima saja merupakan aktor dengan kepribadian ganda. Bahkan majemuk berbaur analis prasangka negatif, melulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H