Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Baikkah Guru Bercerita tentang Kegagalan kepada Siswa?

29 Maret 2017   08:37 Diperbarui: 29 Maret 2017   19:00 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan kita. Apalagi sebagai guru lebih suka mengungkap keberhasilan atau kepencapaian kita di depan para siswa. Memang dengan begitu, kita terkesan sukses. Tapi, secara pribadi, saya lebih suka dengan orang atau guru yang sedikit mau mengungkapkan ketidaksempurnaan atau kegagalannya. Paling tidak, menyebut berbagai proses atau tahapan penting yang dilaluinya sebelum ke puncak pendidikannya. Nah, ketika ada orang berbicara tentang keberhasilannya. Aku, kadang, segera menyungsang jalan logikanya yang kurang alamiah atau manusiawi. Padahal, berbagai buku sejarah dan biografi yang kukaji justru kebalikan pembiacaraannya.

Misalnya, seorang teman guru bercerita tentang keberhasilannya di berbagai bidang. Katanya, ia sangat bersyukur atas pencapaiannya. Meski, kata atau kalimatnya menunjukkan terdapat penggurutuan atau pengumpatan. Memang, agak susah menyeimbangkan kisah kehidupan kita. Sebab, kehidupan ini sedemikian kompleks. Begitu pun, ada sisi manusiawi yang perlu diungkap agar tidak mengidealisasi para guru secara berlebihan. Terutama di hadapan remaja, SLTP hingga SLTA.

Guru Ideal

Di hadapan para pelajar. Terutama di sekolah, mereka menjaga image sebagai guru. Gerak-geriknya banyak diatur. Meskipun, agak dibuat-dibuat. Pola guru tipe ideal, kerap berbicara tentang prestasi belajarnya di hadapan siswa. Dari SD hingga kuliahan. Banyak memberikan ceramah kepada siswa agar lebih giat belajar, berprestasi, dan bercita-cita setinggi langit. Guru sedemikian tampak agak pamer, riya, sumah, ujub, dan untuk tidak menyebutnya berbaur sombong?

Sebagai contoh, saya mendapati rekan guru yang menghukum habis-habisan seorang remaja SLTP yang ketahuan kabarnya 'berpacaran?' Cara dia, menceramahi si anak begitu keras dan agak kasar. Si remaja ini terus tertunduk. Saya agak heran dan lebih kaget lagi, si guru dulunya semaja remaja lumayan parah dalam hubungan 'cinta?' Bagaimana ia lupa diri dari remaja setelah kini menjadi guru?

Tentu saja, saya menolak dan melarang pergaulan bebas remaja yang melanggar norma, adat, dan apalagi agama. Tapi, aku rasa ada cara kita yang lebih memberi pemahaman kepada para remaja agar selalu berbuat baik dan terhindar dari kejahatan atau keburukan. Lalu, apakah guru perlu menceritakan kepada remaja rekam jejak guru yang tak kalah buruk dulu? Saya rasa, bukan itu fokus dan tujuannya. Cukup, ingat saja hukum perbandingan, semasa dulu, seumur mereka. Lalu, berilah pemahaman yang lebih baik dibanding cara kita dulu menangani atau melewati masa muda. Tentu, perlu dilandasi kerendahan hati daripada sekadar maksud menceramahi. Atau paling bisa mengatasi persoalan remaja. Sekaligus, arahkah agar berdoa dan bertawakal kepada Tuhan.

Sebagai guru kini, saya merasa sangat bersyukur pernah berguru atau bertemu dengan para guru yang bijak. Sehingga, mereka secara tulus dan rendah hati. Tak merasa paling baik atau sempurna. Seorang Kiai Pesantren saya pernah berkatan sebelum mengkaji Kitab Tasawuf, "Saya takut mengajarkan ini, karena saya sendiri belum begitu mengamalkan isi kitab ini..." Sesuatu yang terus kuingat kini, sebagai sebuah kerendahan hati seorang Kiai di hadapan santri.

Bahkan, secara pribadi kepada guru itulah, aku tahu sedikit, ia juga di masa remajanya menaksir wanita. Tentu saja, detailnya ia tak bercerita banyak. Kecuali, sekadar hanya mengakuinya disertai banyak senyuman.

Guru Realis

Sebagian guru populis. Terutama guru pria yang belum menikah. Aku memerhatikan hubungan mereka yang kelewat akrab dengan sebagian siswa. Seakan guru dan siswa itu teman sebaya. Aku kira bahkan mereka bercurhat-curhatan ala teman sebaya. Sehingga, mungkin pada ujung berlebihan, beberapa siswa mengenali guru demikian pada pergaulannya yang akrab sampai melampaui sedikit batas kehormatan seorang guru.

Kalau dikontraskan dengan guru tipe ideal, guru yang menolak 100% mengungkap sisi gelap dirinya kepada para siswa. Sebaliknya, guru realis hampir membuka segala rahasia dirinya kepada para siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun