Gambar di atas merupakan rak buku sederhana. Saya berharap dapat memiliki bilik perpustakan di rumah disertai rak hias yang lebih rapi. Tapi, karena hidup masih nomaden alias pindah kontrakan. Sementara baru begitulah gambaran rak buku saya. Maklumilah rak milik saya buatan yang bukan ahli tukang.
Aku berkhayal kiranya, di Indonesia ada mega program politik dari presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, dan hingga kepala desa. Angan-angan yang saya bayangkan, andai mereka membuat kebijakan membangun, membantu, dan membedah setiap rumah di Indonesia mempunyi bilik perpustakaan?
Seluruh rakyat Indonesia memiliki kamar perpustakaan pribadi, pada semua rumah rakyat pedesaan, kecamatan, kabupaten, kotamadya, propinsi, dan hingga pusat.
Jadi, program kampanye pemilihan, tak hanya semacam kartu KIP; pendidikan, BPJS kesehatan, ketersediaan lapangan kerja, dan semacamnya. Tapi, membedah setiap rumah berperpustakaan.
Buku yang tersedia di perpustakaan, seperti agama sesuai dengan keyakinannya, kemanusiaan, kesatuan (nasional), demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial. Yah, sesuai dengan Pancasila. Ditambah dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang, minat, dan kecenderungan. Semakin banyak koleksi judul buku itu, tentu saja semakin baik untuk kemajuan dan kemajemukan bangsa Indonesia.
Prihatin
Berdasarkan observasi kecil-kecilan, saat berkunjung ke rumah orang. Saya kerap mengamati ada atau tidaknya rak buku di rumah tersebut. Dari banyak kunjungan bertamu ke rumah orang yang saya lewati. Umumnya, jangankan kamar khusus perpustakaan, bahkan rak buku pun masih banyak rumah yang tak memilikinya. Rak piring, “ya?” Tapi, rak buku agak berantakan kalaupun ada?
Malahan, perpustakaan daerah sedikit desainnya tampak agak kurang menarik. Jauh kalah dibanding dengan mal, kafe, tempat mangkal (bahkan kedai kopi pinggir jalan), dan tempat rekreasi lainnya.
Termasuk sebagian para pendidik, beberapa di antaranya bukanlah pecinta ilmu. Apalagi juga bukan penyuka buku. Begitu dengan para siswa. Pada masa saya, sebelum ada BOS. Setamat sekolah SD, SLTP-SLTA, saya memiliki buku teks yang wajib yang miliki. Tentu saja, orangtua yang membelinya. Namun, di zaman BOS sekolah kini, karena buku teks siswa bersifat pinjaman. Maka, selulus sekolah siswa hanya memiliki koleksi buku tulis. Kecuali, sebagian kecil siswa yang lebih giat ilmu.
Tidak jauh beda halnya dengan dosen hingga mahasiswa di universitas. Mantan murid saya yang kini menjadi mahasiswa di universitas negeri bercerita. Ada banyak rekannya yang tak mau lagi ke perpustakaan, karena dianggap kolot serta ketinggalan zaman. Toh, alasan mereka yang enggan ke perpustakaan itu, alat teknologi informasi gadget dan internet cukup sangat memudahkan bahan bacaan. “Ngapain harus menyulitkan diri berperpustakaan lagi,” kilah mereka.
Bayangkanlah kalau generasi itulah yang kelak meneruskan atau mewariskan bangsa ini, aku kira kalau itu terus terjadi. Kita bangsa Indonesia, masih agak musykil dan untuk tak menyebutnya mustahil bangkit-maju pada masa datang?
Buku Unik
Bagaimanapun kecanggihan teknologi informasi kini (seperti gadget, hp), buku taklah tergantikan. Artinya, buku masih tetap memiliki keistimewaan dibanding bacaan online misalnya. Kenapa? Karena menurut saya, proses membuat buku melibatkan banyak orang, seperti penulis atau pengarang, editor, desain, percetakan, penerbitan, dan hingga pemasaran.
Bagi saya buku punya keindahan tersendiri –bahkan sekedar memandangi sampulnya yang didesain pas warna? Bagi saya sampul buku saja seperti lukisan yang dirangcang pelukis menyedapkan pandangan mata. Setidaknya, sebagaimana seorang Ibu Guru bertutur kepada saya alangkah senang rasanya memandangi semerbak bunga-bunya di halaman rumahnya. Bahkan tambahnya, “bunga dapat mengobati keresahan dan sedikit rasa penyakitnya.”
Begitulah kiasan memandangi buku bagi saya sangat menyenangkan! Untuk itulah, bagi saya buku demikian istimewa, sehingga kalau saya kehilangan atau rusak kemeja misalnya-bagiku tak begitu masalah. Namun, kehilangan buku agak menyesalkan bagiku.
Tapi, saya selalu menolak kalau disebut, ‘kutu buku?’ Saya lebih senang kalau dikatakan pecinta ilmu pengetahuan. Untuk itu, sebagai salah satu tandanya, saya berharap mungkin saudara juga berharap begitu agar kita dapat memiliki bilik perpustakaan sendiri. Dilengkapi pengondisian, arsitek, desain, penerangan cahaya ruangan, rak, meja, dan kursi yang lebih rapi untuk perpustakaan pribadi yang mendorong gairah membaca, menulis, dan mencintai ilmu.
Untuk sementara, aku akui masih proses berharap sebagaimana rak buku yang saya miliki belum memenuhi standar yang sebaiknya. Kalau Merry Riana mimpi sejuta dollar di Singapura dan menjadi nyata hingga kini ia terkenal pengusaha, penulis, dan motivator di Indonesia. Aku cukuplah bermimpi memiliki bilik perpustakaan pribadi dan rak buku yang kelihatan sedikit lebih rapi daripada kini pada gambar di atas. Insya Allah. Mimpi terbesarku, semoga setiap rumah di Indonesia, dari Merauke-Sabang memiliki bilik-bilik perpustakaan keluarga.