Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wow, Ini Rahasia Santri Pesantren Sehingga Jago Berpidato dan Menulis

14 Maret 2017   17:43 Diperbarui: 14 Maret 2017   18:11 2466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto di atas merupakan gambaran tempat tinggal kami sebagai santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Nabundong, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tahun 1991-1997. Potret pondok yang tampak itu, hanya sebagian kecil dari ratusan pondok lainnya, yang tak terpotret.

Pondok berasal dari bahasa Arab. Artinya, hotel. Bukan dalam artian arsitek modern. Melainkan dari segi isi di dalamnya. Dalam berpondok berukuran 2x2 meter, kami diatur dan dianjurkan berisi satu orang sepondok. Maksimal tiga orang. Kenapa dianjurkan sepondok satu orang? Karena, biar santri fokus belajar mengaji dan mengkaji kitab kuning. Sebab, kalau banyak santri dalam satu pondok dikhawatirkan sibuk kombur (bercerita) yang tak berujung.

Ada jamak sekali pengalaman memondok selama 6 tahun dari tahun 1991-1997. Tapi, di sini saya ingin mengetengahkan sedikit pengalaman berpidato dan menulis. Bagaimana biasanya para santri lancar dan fasih berpidato hingga menulis?

Tablig

Sudah umum di pesantren tradisional latihan berpidato. Yang disebut tablig. Biasanya, latihan tablig (berpidato) di hadiri seluruh santri. Lalu, santri dari kelas terendah hingga teratas berpidato di depan ratusan bahkan ribuan santri. Ketika seorang santri berpidato, tidak diperkenankan membawa teks, bahkan coretan kertas kecil yang menjadi pokok penting isi pidato juga, dilarang. Itu artinya, para santri pesantren dengan bertablig dilatih pidato tanpa teks. Saya sangat bersyukur dan merasa mendapat berkat dengan menyantri, sehingga berpidato di depan umum tidak pernah menjadi masalah buat saya. Tanpa teks, sekalipun.

Saya rasa, hanya sistem pendidikan pesantren yang mewajibkan santrinya latihan berpidato (bertablig) di depan umum. Dengan gaya bahasa non-verbal dan verbal yang fasih dan atraktif. Jadilah, para santri yang jago berpidato. Tidak hanya itu, sebagian santri terpilih yang mahir berpidato akan menjadi pendamping kiai berdakwah ke berbagai daerah. Umumnya, ke pedesaan. Semacam safari dakwah. Sekaligus memperkenalkan pesantren ke daerah lain. Yang menjadi daya tarik agar masyarakat mendaftarkan anaknya ke pesantren. Umumnya, stok santri pesantren berasal dari luar daerah. Maka, di situlah yang membuat massa pesantren beragam dan kuat.

Selain bersama kiai dan guru. Ada organisasi bersifat ke daerah di pesantren. Setiap daerah dapat menyiapkan dan melatih santri daerahnya. Termasuk berpidato, berpuisi, berdrama, dan bernasid. Biasanya, pada bulan Maulud Nabi, Isra'-Mi'raj, dan menjelang Ramadhan. Organisasi daerah dapat terjun berdakwah ke pedesaan, tempat asal beberapa santri. Jadi, lengkap sudah latihan tablig di pesantren secara praktik juga terjun ke masyarakat umum. 

Kalau saya bandingkan beberapa debat calon kepala daerah di Indonesia, bahkan sekaliber presiden. Justru, latihan tablig atau pidato di pesantren lebih unggul. Latihan tablig pesantren sudah sekaliber debat presiden di Amerika Serikat. Yang hemat saya lebih atraktif, dengan bahasa lisan dan gaya tubuh yang serasi. Sedangkan, kita di Indonesia terlalu begitu sopan. Apalagi dipandu moderator debat yang sepertinya khawatir rusuh terjadi dalam debat politik. Kecuali, orang santri pesantrenan jauh lebih fasih dan semangat dalam berpidato. Pantasan, tamatan pesantren joga berpidato tanpa teks. Di kita, bahkan sekaliber presiden, kerap berpidato dengan menggunakan teks. Minimal, catatan kecil garis besar pembicaraan pidato.

Maka, latihan tablig di pesantren cukuplah membuat para santri jago berpidato. Itu satu rahasia utama, yang tersembunyi dan lazimnya hanya dimiliki pesantren. Sedangkan sekolah umum, sekalipun belajar pidato dalam materi bahasa Indonesia. Sepertinya, sangat terbatas.

Dari Hapalan, Dhabit, Hingga Tulisan

Contoh kitab kuning.

Sumber: Reviewer: Ghazi Alghifary
Sumber: Reviewer: Ghazi Alghifary
Kitab kuning menjadi buku daras pesantren. Buku teks pesantren adalah kitab kuning dengan berbagai bidang ilmu semisal di atas. Anda dapat memerhatikan bagian tengah yang dibingkai. Pada kitab kuning, sering bagian pinggir, sebelah kiri dalam contoh di atas merupakan matan (teks utama), sedangkan yang bagian dalam kotak segi empat ialah syarah atau penjelasan matan, yang berada di pinggir kiri tadi. Dalam beberapa buku, atas-bawah, kanan-kiri bisa jadi matan, teks dasar, asli, dan utama.

Sebetulnya, kalau penelitian di dunia ilmiah kerap dibubuhi catatan kaki (footnote) pada bagian bawah lembar penelitian/buku. Sungguh kitab kuning jauh lebih awal dan lengkap daripada itu semua. Malahan, tataplah pada contoh lembar kitab kuning di atas, syarahnya, catatan footnotenya yang berada di tengah jauh lebih banyak dibanding matan atau teks dasarnya.

Begitu juga, sistem yang digunakan dalam mengkaji kitab kuning ialah dhobit. Kiai mengartikan matan kitab kuning lalu santri mendhobit (membuat catatan arti tadi pada bagian atas atau bawah per kata yang belum dimengerti). Istilah mendhabit merupakan khas pesantrenan. Apalagi dallam contoh yang dikemukakan dalam kitab kuning, terutama dalam belajar nahu (tata letak kata) dan sharaf (morfologi) banyak syair sastrawi yang digunakan. Tentu saja mendukung upaya lisan dan tulisan agar santri cekatan membuat catatan pinggir. Tentu saja, pembelajaran yang baik dalam membudayakan tradisi menulis.

Dan kalau Anda mau menghitung betapa banyaknya sumbangsih tulisan ulama Islam dan sampai kini menjadi buku daras di pesantren. Ketika, kita hendak membangun pola pendidikan nasional. Sepertinya, kita tidak begitu jelas merumuskan buku teks hingga pola pendidikan sekolah. Kecuali, comot sana-sini produk luar negeri yang belum di-Indonesia-kan sesuai dengan adat nusantara.

Belakangan, sebagian orang yang tak pernah memondok pesantren mengkritik sistem pesantren. Meski secara malu-malu juga sebenarnya mencontoh pondok pesantren secara rahasia dengan adopsi sana-sini. 

Misalnya, tukang kritik pesantren mencela sistem hapalan dan tidak update di pesantren? Padahal, kalau Anda mau belajar menulis, mengarang, dan meneliti menghapal sangat membantu keberhasilan Anda. Secara pribadi, saya menggunakan hapalan dan dhabit pesantren dalam mengembangkan kemampuan menulis yang saya miliki. Saya merasakan banyak manfaat dari menghapal dan mendhabit demi kepentingan menulis kini.

Mereka yang hanya tahu mencela sistem menghapal dan mendabit, biasanya juga karena daya hapal dan dabitnya tak terlatih. Atau bahkan pelupa dan lemah ingatan sama sekali. Jadi, dengan terbiasa menghapal teks yang mau Anda tulis. Serta memberikan catatan pinggir, penjelasan terhadap suatu topik. Saya hakul yakin, insya Allah, hajat Anda menjadi pandai menulis terkabul.

Jadi, rahasia menulis orang pesantrenan ialah dimulai dari hapalan hingga dobitan. Apalagi dengan ukuran pondok pesantren di masa saya, 2x2 m dapat menambah ilham meningkatkan daya khayal dan imajinasi lebih luas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun