Foto di atas merupakan gambaran tempat tinggal kami sebagai santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Nabundong, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tahun 1991-1997. Potret pondok yang tampak itu, hanya sebagian kecil dari ratusan pondok lainnya, yang tak terpotret.
Pondok berasal dari bahasa Arab. Artinya, hotel. Bukan dalam artian arsitek modern. Melainkan dari segi isi di dalamnya. Dalam berpondok berukuran 2x2 meter, kami diatur dan dianjurkan berisi satu orang sepondok. Maksimal tiga orang. Kenapa dianjurkan sepondok satu orang? Karena, biar santri fokus belajar mengaji dan mengkaji kitab kuning. Sebab, kalau banyak santri dalam satu pondok dikhawatirkan sibuk kombur (bercerita) yang tak berujung.
Ada jamak sekali pengalaman memondok selama 6 tahun dari tahun 1991-1997. Tapi, di sini saya ingin mengetengahkan sedikit pengalaman berpidato dan menulis. Bagaimana biasanya para santri lancar dan fasih berpidato hingga menulis?
Tablig
Sudah umum di pesantren tradisional latihan berpidato. Yang disebut tablig. Biasanya, latihan tablig (berpidato) di hadiri seluruh santri. Lalu, santri dari kelas terendah hingga teratas berpidato di depan ratusan bahkan ribuan santri. Ketika seorang santri berpidato, tidak diperkenankan membawa teks, bahkan coretan kertas kecil yang menjadi pokok penting isi pidato juga, dilarang. Itu artinya, para santri pesantren dengan bertablig dilatih pidato tanpa teks. Saya sangat bersyukur dan merasa mendapat berkat dengan menyantri, sehingga berpidato di depan umum tidak pernah menjadi masalah buat saya. Tanpa teks, sekalipun.
Saya rasa, hanya sistem pendidikan pesantren yang mewajibkan santrinya latihan berpidato (bertablig) di depan umum. Dengan gaya bahasa non-verbal dan verbal yang fasih dan atraktif. Jadilah, para santri yang jago berpidato. Tidak hanya itu, sebagian santri terpilih yang mahir berpidato akan menjadi pendamping kiai berdakwah ke berbagai daerah. Umumnya, ke pedesaan. Semacam safari dakwah. Sekaligus memperkenalkan pesantren ke daerah lain. Yang menjadi daya tarik agar masyarakat mendaftarkan anaknya ke pesantren. Umumnya, stok santri pesantren berasal dari luar daerah. Maka, di situlah yang membuat massa pesantren beragam dan kuat.
Selain bersama kiai dan guru. Ada organisasi bersifat ke daerah di pesantren. Setiap daerah dapat menyiapkan dan melatih santri daerahnya. Termasuk berpidato, berpuisi, berdrama, dan bernasid. Biasanya, pada bulan Maulud Nabi, Isra'-Mi'raj, dan menjelang Ramadhan. Organisasi daerah dapat terjun berdakwah ke pedesaan, tempat asal beberapa santri. Jadi, lengkap sudah latihan tablig di pesantren secara praktik juga terjun ke masyarakat umum.Â
Kalau saya bandingkan beberapa debat calon kepala daerah di Indonesia, bahkan sekaliber presiden. Justru, latihan tablig atau pidato di pesantren lebih unggul. Latihan tablig pesantren sudah sekaliber debat presiden di Amerika Serikat. Yang hemat saya lebih atraktif, dengan bahasa lisan dan gaya tubuh yang serasi. Sedangkan, kita di Indonesia terlalu begitu sopan. Apalagi dipandu moderator debat yang sepertinya khawatir rusuh terjadi dalam debat politik. Kecuali, orang santri pesantrenan jauh lebih fasih dan semangat dalam berpidato. Pantasan, tamatan pesantren joga berpidato tanpa teks. Di kita, bahkan sekaliber presiden, kerap berpidato dengan menggunakan teks. Minimal, catatan kecil garis besar pembicaraan pidato.
Maka, latihan tablig di pesantren cukuplah membuat para santri jago berpidato. Itu satu rahasia utama, yang tersembunyi dan lazimnya hanya dimiliki pesantren. Sedangkan sekolah umum, sekalipun belajar pidato dalam materi bahasa Indonesia. Sepertinya, sangat terbatas.
Dari Hapalan, Dhabit, Hingga Tulisan
Contoh kitab kuning.