Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membela Guru dari Masa Mendikbud M. Nuh, Anies Baswedan Hingga Muhadjir Effendy

9 Maret 2017   18:54 Diperbarui: 10 Maret 2017   04:00 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai guru pria. Saya mengajar sejak tahun 1998 -sampai kini, 2017. Saya pernah mengajari anak esde (SD), remaja esempe SMP-SMA/SMK/sederajat, bahkan hingga mahasiswa di perguruan tinggi. Sebagai pria yang memiliki emosi, saya kira yang enteng mengajar ialah menjadi dosen. Bukan guru.

Anda juga dapat menghitung jumlah guru wanita-pria pada tingkat dasar, TK, SD, SMP, dan SMA. Tak usah repot. Sekadar ingat-ingat saja, kebanyakan guru itu wanita. Malahan, di beberapa daerah, ada kecenderungan oknum pejabat mengangkat wanita sebagai kepala sekolah. Itu positif dari sudut emansipasi wanita. Demi mengharkat posisi wanita. Tentu saja. Saya bukanlah penganut paham superioritas pria. Tidak sama sekali. Saya ingin terus hormat pada perempuan.

Tapi, dalam masyarakat yang patriarkis menjadi guru dianggap tidaklah begitu "jantan?" Pada banyak pidato, guru katanya dimuliakan dan dihormati. Meski dalam realitas sosial, bisa sebaliknya. Cuma dalam pidato saja guru dimuliakan, tapi dalam banyak pandangan, stereotip keguruan cukup negatif.

Marilah saya ajukan satu argumen. Cara orang menatap masalah pendidikan. Bahkan kebijakan Mendikbud yang saya amati, dari M. Nuh, Anies Baswedan, dan hingga kini Muhadjir Effendy terkesan menyalahkan guru sebagai sumber kemeresotan pendidikan. Karena Mendikbud berlogat demikian, lebih lumrah lagi oknum pejabat struktural kependidikan, pengawas pendidikan, widyaiswara pendidikan, instruktur guru, dan penatar guru -yang menuduh gurulah satu-satunya biang kerok pendidikan.

Oleh karena itu, ketika PLPG sertifikasi guru umpamanya. Banyak yang menjadi instruktur guru merupakan dosen "muda" universitas, yang berlebihan percaya diri disertai sikap sombong, pamer, riya, ujub, dan sum'ah -membanggakan "kehebatannya" di hadapan guru. Padahal, sekadar menampilkan slide powerpoint. Sebuah slide presentasi yang membuat kagum sebagian guru yang sudah berumur tua? Karena guru tua yang berpengalaman itu tak pernah bisa menggerakkan mouse komputer/laptop lalu menjadi bahan gurauan sinis instruktur oknum dosen congkak itu?

Sampai, sebagian guru di PLPG. Terutama menjelang peer teaching, praktik mengajar di hadapan rekan. Beberapa guru tak hanya grogi, tetapi beser, diare, deman, stres, keguguran kandungan, dan bahkan meninggal dunia paska sesaat sertifikasi. Itu pun tak mengundang empati pihak penyelanggara PLPG guru? Malahan, menjadi bahan lawakan kepada angkatan PLPG berikutnya. Yang diceritakan pada saat pembukaan Diklat PLPG, di ruang kelas, dan bahkan pada penutupan PLPG.

Banyak sekali anekdot sinis terhadap guru yang saya dengar dan amati. Dari pembicaraan ilmiah di kuliah, seminar, workshop, pelatihan, penataran, Diklat, dan musyawarah di kantor sekolah. Hingga obrolan di meja piket dan kantin sekolah.

Kadang, saya berpikir. Apakah para guru masih bisa emosi marah? Bukan kepada para siswa. Melainkan pada oknum yang merasa kastanya di atas kelas guru. Mereka yang membingkai masalah pendidikan semata salah guru. 

Siapapun yang bertemu, apalagi bertamu kepada Anda wahai para guru dengan cara pandang sempit menatap masalah pendidikan, persoalan guru mutlak? Hadapi, lototi, dan gusarilah orang sesumbar itu. 

Sebagai contoh saya berkonfrontasi dengan instruktur guru yang pamer power point. Aku bilang "persoalan pendidikan" tidak akan selesai atau tertangani dengan berpowerpoint dan bermetode. Saya menggusari si instruktur guru itu sampai hampir tersungkur lemas. Apalagi, aku bilang, Anda yang bukan guru, yang tak lagi mengajari anak setarap esde (SD) hingga esema (SMA) -jangan banyak "ngomong!" Siapa yang tidak mengalami dan merasakan, janganlah berkomentar muluk kalau Anda hanya mengajari mahasiswa dewasa di PT. Kecuali, kalau Anda mau berendah hati berbicara di hadapan para guru yang Anda aibi ini.

Begitulah, sedikit contoh pembelaan saya terhadap guru di hadapan siapa saja yang menyasar masalah pendidikan mutlak salah guru. Cara pandang demikian lebih banyak disertai prasangka buruk dalam memandang guru. Padahal, persoalannya sering adalah si penatar guru. Atau persoalan yang lebih bersifat struktural, birokratis, hingga politis pendidikan. Banyak guru hanya korban, bahkan kambing hitam pendidikan. Oleh karena itu, apakah kalian rekan guru masih tersinggung? Masihkan Anda mempunyai nyali berkonfrontasi yang lebih emosional? Aku harap kalian masih memilikinya. Agar pembelaan guru dalam pendidikan lebih proporsional...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun