Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bahasa "Netral" Jurnalistik BBC Indonesia

6 Februari 2017   17:18 Diperbarui: 6 Februari 2017   17:41 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda berjumpa dengan penulis yang agak kikir dengan keilmuwan jurnalistik atau kepenulisan yang dimilikinya? Saya berharap, anda tak perlu bertemu dengan orang demikian. Abaikan saja!

Masih banyak penulis dermawan di dunia ini. Ini jangan dimaknai soal harta saja, tapi juga pengetahuan. Sebagai contoh, Pak Prof KH Yudian Wahyudi, Ph.D. Kini, rektor UIN Yogyakarta–memberikan buku karya tulisnya kepada saya secara gratis. Bahkan mengirimkannya lewat jasa pengiriman.

Perlu saya akui, saya sebenarnya ingin membalas budi baik banyak Guru yang dermawan sekaliber itu. Cuma, kadang karena berbagai tantangan balas budi agak tertunda. Dari situ jugalah, meski tak secara langsung kepada pemberi utama, saya mungkin bisa membalas budi baik Guru saya kepada orang lain.

Atas dasar dan pengalaman banyaknya orang yang berbuat baik kepada kita. Saya berharap juga dapat sedikit mendorong anda menulis dan berbagi, seperti dalam tulisan ini. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada banyak Guru yang sangat baik-baik. Memang, ada satu atau dua orang yang agak kuabaikan, lantaran agak sulit menjalin hubungan baik dengannya. Tapi bisa jadi ia Guru yang baik juga, cuma karakter kami kurang bisa dipadukan.

Saya agak aneh, dengan orang yang memelitkan ilmunya? Padahal, justru itu dapat memailitkan kemampuan menulisnya. Seperti kata orang bijak, orang pelit dengan ilmunya lebih pailit dibanding orang kaya yang pelit.

Tapi, saya tetap berharap kalau anda memiliki harta banyak, sedikit juga, mungkin banyak manfaatnya kalau anda atau kita berderma. Kembali kepada soal ilmu jurnalistik tadi, atas pengalaman subjektif saya. Saya pernah mengikuti kursus jurnalistik jarak jauh. Jangan anda anggap gratis. Meski tak terlalu mahal. Waktu itu harus kubayar. Kalau tidak, aku tak mendapati bimbingan mereka.

Ya. Namanya ilmu. Tak apalah anda investasikan demi pembelajaran. Kadang, karena gratis melulu membuat kita lemah gairah menulis. Dengan berbayar, kita mengingat jerih-payah bahkan uang yang kita berikan, sehingga kita terpaksa menebusnya dengan karya tulis.

Maka dalam kolom terbatas ini, wahai kawan calon penulis. Mungkin ada baiknya, kita mempelajari bahasa jurnalistik dalam Akademi BBC Sekolah Jurnalistik. 

Secara pribadi, saya mengintip dan mengutip pelajaran bahasa BBC Indonesia. Terutama dalam menu atau beranda “Bahasa” BBC Indonesia.

Karena menurutkan bahasa jurnalistik BBC Indonesia menolong kita berbahasa yang lebih kritis tentang motif kepenulisan kita. Semacam analisis bahasa jurnalistik atau berita yang beredar di media. Kita dapat mempertimbangkan bahasa jurnalistik BBC Indonesia. Tentu saja, anda boleh setuju atau menolaknya.

Meski aku guru, aku tak begitu mahir menjelaskannya kepada anda. Aku kira, anda lebih bagus meliriknya secara langsung ke Akademi BBC Jurnalistik Indonesia.

Sekadar contoh, disebutkan garis editorial BBC impartial atau tidak berpihak. Ini tercermin tidak hanya isi berita, tetapi juga pada kata, istilah, dan kalimat yang digunakan.

Sebagai misal, bagaimana BBC Indonesia membuat berita: Istilah yang tepat untuk memberitakan konflik Israel-Palestina…Lebih jelasnya, lihat  

Contoh lain, bagaimana BBC Indonesia memberitakan gugusan pulau di perairan antara Cina dan Jepang yang dipersengketakan kedua negara. Jepang menyebut kepulauan ini Senkaku sedangkan Cina menamakan gugusan pulau Diaoyu. Dengan menyebut salahnya, berarti keberpihakan. Maka, wartawan BBC memakai istilah dua nama tersebut: Para pegiat Cina mendarat di Kepulauan Diaoyu yang di Jepang dikenal Kepulauan Senkaku.

Begitu juga, sebutan wafat untuk “polisi” sedangkan tewas bagi “teroris” kurang netral bagi BBC Indonesia. Jadi, kalau jurnalis menulis demikian, tampak keberpihakannya yang agak berlebihan ke satu pihak. Mungkin lebih netral kalau diberitakan: meninggal dunia atau tewas saja, tanpa mengurangi rasa hormat.

Mungkin, pembaca budiman lebih banyak tahu mengenai bahasa jurnalistik yang netral, bersediakah berbagi kepada kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun