Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Gaya Underdog Jadi Penulis Koran Daerah?

5 Desember 2016   13:56 Diperbarui: 5 Desember 2016   14:14 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://perpustakaan.kaltimprov.go.id (ilustrasi)

Sahabat kompasiner yang seluruhnya penulis. 

Kalau Anda menulis beberapa kali ke koran Jakarta dan nasional. Namun, tulisanmu ditolak terus. Berhentilah berlangganan koran yang agak “sombong” itu. Sekaligus, beralihlah ke koran daerah atau lokal. Abdul Hakim Siregar

Begitulah, gaya penulis underdog? Ketika pihak yang lemah, daif, dan tidak diunggulkan dalam segala hal, seluk-beluk menulis. Pada akhirnya, menjadi pemenang dan penulis tersohor?

Koran Jakarta atau Koran Nasional memiliki kriteria yang agak rumit, berat, dan muskil? Karena itu, beberapa orang beranggapan buktinya penulis mesti mampu menembus Koran Jakarta? Sombong kali, persepsi semacam itu? Seakan Anda, yang menulis di Koran daerah atau local, inferior, sedangkan mereka yang menulis di Koran Jakarta, superior?

Jurus “gila” atau “mabuk” gaya underdog dapat mengalahi dan mengangkangi mereka penulis di Jakarta? Jangan merasa minder dan inlander dari daerah menatap penulis Jakarta, kalian tak kalah kreativitasnya?

Kenapa Koran Daerah?

Sebagai penulis underdog, kita perlu menatap tulisan kita diterbitkan di koran? Biarpun koran daerah, lokal, buletin, bulanan, mingguan, atau harian. Tulisan terbit di Koran itu membuat penulisnya bahagia. Sekaligus, menatap hasil karya nyata tulisannya disebarluaskan. Perasaan bahagia menulis itu, khas dirasakan penulis sejati atau calon penulis sejati?

Mungkin, saat pertama menatap tulisan di Koran? Sampai membaca tulisan sendiri itu beberapa kali lagi. Korannya ditenteng. Atau difotokopi serta ditempelkan di tempat umum. Dibagikan di FB dan Twitter. Semacam kegirangan yang mendekati “riya” dan “takabur” tutur komentator sinis pembacanya?

Kalau gitu ma, saya juga bisa, tambahnya? Meskipun, sebetulnya tak kunjung terbukti?

Menatap, menempel tulisan terbit di Koran oleh penulisnya menjadi kegairahan khas yang dapat memantik api semangat menulis? Memang, ada yang bilang, “aku kalau menulis itu, mood-mood-an. Yah, kalau lagi enak hati, tulisan siap. Tapi, kalau lagi galau, tulisan tersendat kacau?”

Penulis lain menyanggah, “enggak ada namanya mood-mood-tan menulis, tulis saja kapan saja?” Tentu, tetap kadang ada rehatnya. Sebab, kalau tidak pasangan atau anak mengecam Anda sebagai penulis? Tapi, kadang kecaman pasangan pun dapat ilham tulisan?

Atas dasar itu, menulis seperti di Kompasiana sebetulnya, termasuk gaya penulis artikel yang underdog. Media arus utama terlalu “congkak” menyeleksi tulisan yang masuk ke meja redaktur? Kata halusnya, kata redaktur media, rubrik Koran mereka terbatas sehingga tak bisa menampung setiap tulisan yang masuk ke redaktur? Ya, terserah mereka. Itu hak mereka. Tapi, juga kita dapat mempublis tulisan sendiri di Kompasiana atau blog pribadi misalnya.

Anda yang terus menyasar Koran Jakarta atau nasional biar tulisan nongol? Bisa jadi belum pernah terbit. Justru yang terbersit putus asa, frustrasi menjadi penulis. Karena merasa tulisan ditolak redaktur Koran?

Padahal, yang menolak tulisanmu itu Koran yang sedikit agak “sombong?” Tega-teganya, mereka berbuat demikian padamu? Kini, daripada terus merengek agar tulisan terbit di Koran Jakarta? Pakailah gaya penulis underdog, menjadi penulis artikel Koran daerah dulu. Sampai semangat, gairah, hasrat, motivasi, dan PD dulu jadi penulis. Asal PD penulis itu jangan sampai mendekati kesombongan? Tetaplah tawaduk.

Sebagai penulis underdog, surati redaktur langganan koranmu. Pada bagia surat pembaca di koran. Sampaikan niatmu ingin menjadi penulis, bukan cuma pembaca. Jadi, tolong sesekali terbitkan tulisanku. Tetaplah sedikit agak ngotot. Kalau mereka menolak tulisan artikel gaya underdog yang kamu kirimkan. Berhetilah membaca koran mereka, hentikan berlangganan koran mereka. Beralih ke koran lain yang lebih rendah hati. Kedengarannya, sedikit agak menakut-nakuti, tapi itu juga jurus underdog, bukan cara biasa, lain dari yang lain, dan malahan agak menyimpang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun