Menurut saya, di antara keberhasilan istimewa Pak SBY tidak hanya dalam bidang militer (Jenderal TNI), politik (presiden dan ketua partai), dan akademik (Prof, Dr). Bandingkanlah, para presiden lain, ada gelar akademik tapi tidak militer. Sebaliknya, militer tapi tidak bergelar akademik.
Tapi, SBY terlengkap puji Prof Dr KH Yudian Wahyudi. Lebih dari keberhasilan itu, Pak SBY juga sangat sukses dalam keluarga. Lihatlah bagaimana akrab dan sopan-santunnya putra SBY, seperti ketika Agus Harimurti Yudhoyono mau berangkat mendaftar ke KPUD DKI, melalui media kita menonton Agus mencium tangan kedua orangtuanya dengan penuh rasa hormat.
Namun, sayangnya, kita menilai kejadian itu semata dalam perspektif politik. Itu pun sarat dengan prasangka negatif, seakan seluruh keluarga SBY pencitraan. Malahan, ada yang sampai bilang Pak SBY “mengorbankan” putranya demi politik? Lebih dari itu lagi, ghibahnya, Ibu Anie diisukan kurang setuju karier militer dipangkas demi politik. Lalu, lengkap sudah fitnahnya terhadap keluarga SBY, ketika tangis Agus dalam pidato politik pertamanya dihubungkan dengan “pemaksaan” orangtua kepada anaknya?
Sepertinya, prasangka kita dalam berpolitik sudah keterlaluan liar, sehingga kita hampir tidak tahu lagi batasnya, bagaimana sikap yang menunjukkan rasa hormat dengan bias politik. Memang, kita tahu dalam politik, sering pilihannya, bukan antara baik dan buruk. Melainkan antara yang buruk dengan yang lebih kecil buruknya. Mungkin, ini pun sinisme politik yang berlebihan, yang cerminnya bisa jadi bukan orang lain. Bukan Pak SBY dan keluarganya, melainkan kita sendiri yang menilai atau mengamati.
Kalau SBY segera bereaksi ketika keluarganya dikata-katai secara fitnah, itu sangat wajar secara manusiawi, sekalipun dia seorang Presiden, misalnya. Tapi, apakah kemudian Pak SBY bersikap otoriter terhadap pencelanya, 100% tidak sama sekali? Kalau dia mau, tentu dia tahu caranya “menciduk” orang. Justru, ia bersikap demokrat.
Lalu, ketika kini Agus HY mendaftar maju Pilkada DKI? Bahkan, rasa hormat anak kepada orangtua, seperti Agus kepada SBY. Seluruhnya diinterpretasi secara politik. Seakan berbuat baik kepada orang terkotori dengan tafsir politik. Itu pun yang bersikap negatif, bukan positif? Padahal, membina keluarga ala SBY bisa menjadi teladan buat kita, jika kita gunakan kacamata pendidikan.
Sebagai orangtua dan guru sekolah, saya tahu betapa kadang sulitnya mencontohkan dan mengajarkan rasa hormat kepada anak-anak, teman sebaya, orang yang lebih tua, dan terlebih-lebih kepada orangtua. Sekadar mengomongkannya mudah, mempraktikkan rasa hormat butuh upaya sungguh-sungguh seperti Pak SBY yang menurut sebagian orang agak serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H