Disuatu hari dengan awan mendung, dalam sebuah kantor yang berada diujung jalan yang sempit. Aku duduk termenung sambil menatap layar dengan tatapan kosong. "Hahh...." hela nafas ku panjang sambil melepas kacamata yang menempel sejak dari pagi sampai sore. Terbayang rutinitas yang selalu sama dijalani setiap hari, kadang berfikir untuk apa semua ini dan sampai kapan ini  berakhir, apakah semua ini berarti ?. Jam pun menunjukan pukul 5 sore, waktu yang ditunggu setiap hari senin sampai jumat, waktu yang bisa merubah wajah seorang pekerja kantoran dari yang muram menjadi sedikit tersenyum seperti mendapatkan setitik berkah.Â
Komputer sudahku matikan, telepon sudah kucabut kabel power nya, dan berkas sudah dimasukan kedalam laci. Itulah ritual terakhir sebelum meninggalkan kantor ini. Rutinitas yang mungkin ada ratusan orang sama melakukan hal itu, atau bisa jadi kamu yang sedang baca tulisan ini, hai semangat yaa kawan.
Dalam perjalanan pulang dengan kaki yang telah ku latih setiap hari, mungkin hari senin saja kaki ini sudah lebih dari sepuluh ribu langkah, ahh sayang aku tidak punya smartwatch yang bisa menghitung jumlah langkah hari ini pada kalian. Andaikan motor ku tidak hilang bulan lalu, mungkin kaki ini tak akan sekuat ini.Â
Tak terasa akhirnya mata ini bisa melihat rumah kecil yang selalu ku bayar tiap bulannya tapi tidak akan pernah menjadi milik sendiri, ya itulah kontrakan. Tempat yang penuh ketenangan, tempat yang menjadi saksi kerasnya kehidupan, dan tempat yang menjadi hiburan, yaa hiburan ku hanya seonggok kamar saja. Beberapa teman kadang suka mengajak untuk berkumpul dan nongkrong, tapi pikirku itu hanya jalan senang untuk menghabiskan uang dengan cepat dan menghabiskan waktu dengan sia-sia. Dan akhirnya kesendirian lah yang menjadi pemenangnya.Â
Mungkin inilah yang disebut kehidupan 'Dewasa', memilih kebutuhan dan prioritas untuk hidup dibanding dengan kesenangan sesaat. Atau mungkin ini hanya terjadi pada diri ini saja ? , hahah..please pikiran jangan buat diri ini overthinking lagi.Â
Waktu malam pun berjalan menuju larut. Perut ini hanya bisa bertahan menahan lapar sampai pukul 10 malam, padahal sudah banyak air keran yang ku minum dari tadi. Dan anehnya kenapa diri ini tak kunjung terlelap. Ku ingat warteg langganan yang sering ku bayar belakangan, saat ini mungkin hutang ku sudah ada di sekitar 50 ribuan padahal baru minggu lalu aku gajian. Soal perut adalah soal hidup, tak ada kompromi.
Dalam perjalan menuju warteg, lewatlah aku pada sebuah pos kamling yang lusuh dan reyot, dengan TV kecilnya yang hampir tidak terlihat gambarnya dengan jelas, tapi memiliki suara yang jernih, terdengar lah suara iklan dan ku perhartikan dengan serius, beginilah bunyi iklan tersebut :Â
""Kalau aku sudah gede aku pengen kerja di multinational company,
Aku mau kerja digedung yang tinggi,
Ngomong English setiap hari,
Rambut klimis, sepatu mengkilat, seperti orang penting.
Tapi ngerjain kerjaan yang kurang penting,
Jadi tukang fotocopy, bawain laptop, beres-beres kertas,
Gak masalah sih kerja 15 jam sehari,
Tidur cuma 5 jam sehari.
Masalahnya gaji cuma tahan sampai tanggal 15,
Untung di warteg bisa makan dulu bayar belakangan,
Tapi sayang gak berlaku untuk beli pulsa,
Jadi orang gede memang menyenangkan tapi susah dijalanin.""
Entah mengapa air mata ini mengalir dengan sendirinya, padahal aku sedang tertawa menertawai kehidupan yang dibayangkan iklan itu, Galau. Selamat tinggal Dewasa.
Siput Ungu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H