Mohon tunggu...
Sipri Kantus
Sipri Kantus Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah sebuah metode belajar yang paling baik. Saya menulis untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tidak Semata Kurikulum, Tetapi Guru Perlu Jujur!

21 November 2022   11:52 Diperbarui: 21 November 2022   13:18 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dialektika membebaskan keduanya baik guru (tukang transfer) maupun murid (penerima pasif). Dengan dialektika, seorang guru dibebaskan dari sekedar menjalankan tugas mengajar yang terkesan rutinitas-formal menjadi komunikator yang handal, teman dan patner bicara. 

Sementara itu, dengan dialektika, seorang murid juga dibebaskan dari pasifitas sebagai pendengar menjadi subyek yang aktif dan terlibat. Dengan demikian, dialektika dengan rupa-rupa pertanyaan dan saling sanggah menjadikan sebuah situasi pembelajaran menjadi lebih interaktif.

Siswa-siswa kita boleh jadi berada dalam perangkap ketidaktahuan; "Seolah-olah tahu atau tidak menyadari ketidaktahuannya." Kepura-puraan seperti itu kerap menciptakan sebuah 'kelas semu' dengan 'litani setuju' dan 'seribu anggukan' atas apa yang diajarkan guru.

Situasi ini perlu dijernihkan dengan sebuah dialektika. Sifat semu dan seolah-olah perlu hadapkan pada sangkalan atau sanggahan. Sanggahan diperlukan untuk menginterupsi salah kaprah yang dianggap biasa dan mapan. 

Salah satu contoh kemapanan dan salah kaprah itu berkaitan dengan penghayatan terhadap sebuah aturan. Jamak fakta tentang aturan yang sering tidak diindahkan menimbulkan anggapan atau asumsi bahwa 'aturan memang untuk dilanggar." 

Asumsi ini bisa disanggah dengan beberapa pertanyaan, "benarkah aturan untuk dilanggar?," "bukankah aturan dibuat untuk menjamin sebuah keteraturan?" atau bisa juga sanggahannya berupa sebuah bantahan tanpa tedeng aling-aling, "aturan bukan untuk dilanggar, titik!" Lantas, aturan sebenarnya untuk apa? 

Lihat bahwa pernyataan yang dibantah, pun bantahan atas bantahan, berkelindan dalam suatu proses yang dialektis. 

Dalam proses ini, selain diajak berpikir untuk menemukan jawaban yang lebih hakiki, seorang peserta didik juga masuk dalam proses pemurnian atau penjernihan atas asumsi-asumsi dan salah kaprah tentang sebuah aturan. 

Dengan pengetahuannya, seorang guru lalu menegaskan beberapa hal terkait aturan (sekedar menyebutkan beberapa). Pertama, manusia punya kecenderungan kodrati pada keteraturan. 

Kedua, manusia pada dasarnya hidup dalam batas-batas norma. Ketiga, manusia yang menolak hidup dalam aturan sebenarnya hidup dalam kebohongan. Dengan ini, untuk sementara asumsi tentang 'aturan untuk dilanggar' terjawab. 

Namun tetap saja menyisakan kebingungan atau sekurang-kurangnya keraguan tentang keteraturan itu adalah hakikat manusia bila dibenturkan dengan fakta "semakin banyak orang tidak taat pada aturan." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun