Mohon tunggu...
Hafiz Piliang
Hafiz Piliang Mohon Tunggu... profesional -

bekerja di bidang politik. suka menulis. sering bergerak tiba-tiba. twitter @sipiliang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saat Jokowi Berhenti Berpuisi

20 Mei 2013   17:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:17 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi yang dihadapi Jokowi saat ini, sebenarnya pernah dihadapi orang lain. Mario Cuomo, Gubernur New York tahun 1988-1994 menghadapi resistensi yang besar ketika membentangkan visi kampanyenya membangun kota, sementara disaat yang sama juga didapuk-dapuk menjadi pesiden Amerika Serikat. Belajar dari itu, Jokowi sudah berada di dalam track yang benar, seperti Cuomo bilang "You campaign in poetry. You govern in prose. (Anda berkampanye lewat puisi, namun memerintah dalam prosa)." [caption id="" align="alignright" width="220" caption="(diambil dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5c/Gubernur_DKI_Jokowi.jpg/220px-Gubernur_DKI_Jokowi.jpg)"][/caption] Dan zaman puisi bagi pasangan Jokowi dan Basuki sudah berakhir. Kampanye Jakarta Baru memang selayaknya puisi bagi warga Jakarta, bahkan bagi masyarakat Indonesia. Dayu puisi Jokowi tumbuh menjadi harapan baru dengan differensiasinya dengan pemimpin lain. Jokowi menjanjikan pendekatan yang berbeda, humanis, penuh alasan yang membuat seakan semuanya dapat berhasil dengan baik. Mulai dari pembangunan MRT, Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan penyiapan Jakarta menghadapi kiriman tumpahan awan. Namun puisi  tidak bisa dibawa ke pemerintahan, karena hanya sebatas filosofi. Jika Jokowi bertahan di sebagai  penyair, semuanya hanya akan ada  di awang-awang dan tidak pernah menjadi kenyataan. MRT, KJS, dan KJP tidak turun dari kata-kata manis Gubenur terpilih. Jokowi memahami hal tersebut. Itulah kenapa sedetik setelah dilantik, Jokowi mencanangkan pemerintahan yang mulai bekerja. Gebrakan-gebrakan mulai dilakukan. Janji-janji mulai diurai menjadi program-program seperti menjadikan syair yang indah menjadi sebuah realita. Saat itulah, seperti kata Cuomo, puisi telah mulai ditraik menjadi prosa, sesuatu yang jauh lebih kompleks. Berbeda dengan puisi, prosa akan lebih panjang dan lebih lengkap, dan bukan diperankan satu orang saja. Hal inilah yang dihadapi Jokowi. Jakarta Baru yang diusung mau tidak mau menghantam hal-hal lama yang (termasuk mafia, disiplin PNS, dan gaya kepemimpinan lama) menjadi antagonis (musuh) dalam prosa tersebut. Dan ini tidak ringan, karena meski legitimate secara hukum, Jokowi tidak bisa menjadikan katanya sebagai kata rakyat untuk menghantam musuh. Masyarakat punya kepentingan sendiri yang rentan dimanfaatkan musuh, sementara masih ada 47% lebih pemilih yang tidak satu perahu, namun tetap harus diangkut. Jadi memang, dalam kebijakannya Jokowi harus mengumpulkan kembali dukungan. Dukungan harus dimulai dari penyiapan tentara sendiri, yang harus loyal terhadapnya sebagai komando. Ini saja, Jokowi sudah mengalami banyak masalah. Kepemimpinan baru cara Jokowi-Ahok lengkap dengan warna komunikasi yang unik juga menjadi masalah. Sementara, tentara-tentara yang lama ini ada juga yang mantan musuh dan terang-terangan menentangnya. Namun pilihan telah diambil, Jokowi merasa harus memakai tentara lama, namun dengan gaya baru. Penyegaran akan berlangsung bertahap, tujuan tetap harus dikejar, pikirnya. Misi Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Jakarta Pintar (KJP), saat ini memiliki tantangan yang besar dalam penyiapan sistem. Masyarakat berbaris di belakang menunggu hasil, sementara Jokowi-Ahok bertarung bersama "tentara lama yang masih belum selesai disegarkan" melawan pengusaha dan mafia kesehatan dan pendidikan. Pertarungan inilah yang sedang kita nikmati di media. Dimana tarik menarik sangat mungkin terjadi, dan sebagai penonton kita pasti mendukung sang aktor utama, selama ia konsisten. Namanya juga prosa. MRT, dan normalisasi kanal dan waduk sebenarnya pun serupa. cerita-cerita prosa nya sudah mulai bergulir. Lebih parah dari KJS dan KJP, MRT dan Perwadukan akan lebih banyak mengambil interest. Ya, karena ini akan melibatkan tanah, property yang paling mahal di setiap kota. Ini babak baru yang seru untuk diperhatikan, karena kepentingan "sebagian" rakyat, pengusaha dan mafia berpadu. Perseteruan yang mungkin akan mengkorbankan banyak hal, terutama kepemimpinan. Orang akan melihat sisi lain dari Jokowi dan Ahok, dan bisa salah persepsi jika tidak mau melihat lebih dalam. Namun ternyata, persoalan demi persoalan, konflik demi konflik tersebut tidak menjadi bintang Jokowi meredup. Jika mau jujur, lembaga survei pasti membenarkan bahwa saat ini Jokowi berada dalam jajaran teratas elektabilitas, sesuatu yang sangat susah bagi kandidat yang sudah kepincut jadi presiden meski sudah mengeluarkan ratusan milyar. Jokowi masih sedang membangun prosanya, namun rumor dan pendapukan terhadapnya sebagai calon presiden jika tidak teredam akan segera meledak, persis seperti Mario Cuomo. Jokowi pun menjawabnya secara misterius, mirip seperti Cuomo berkata, "I said I didn’t want to run for president. I didn’t ask you to believe me. (Saya bilang saya tidak akan menjadi calon presiden. Tapi anda boleh saja tidak percaya.). HMP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun