Mohon tunggu...
Hafiz Piliang
Hafiz Piliang Mohon Tunggu... profesional -

bekerja di bidang politik. suka menulis. sering bergerak tiba-tiba. twitter @sipiliang

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisruh Rotan: Tidak Sekedar Petani Vs Pengusaha

7 Februari 2012   08:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
copyrights: http://www.comparestoreprices.co.uk

Tidak Sekedar Petani versus Pengusaha”

Ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono me-reshuffle kabinet pada pertengahan Oktober tahun lalu, tidak banyak yang menduga bahwa posisi Mari Elka Pangestu, menteri Perdagangan akan ikut dikocok. Meski tidak dibuang, Istri Ketua Kadin bidang Komite Tiongkok ini dirotasi menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, posisi lamanya digantikan oleh Gita Wirjawan, mantan ketua BKP4.

[caption id="" align="alignleft" width="298" caption="copyrights: http://www.comparestoreprices.co.uk"][/caption]

Selama dikomandoi Mari Elka, kasat mata, tidak ada badai besar terlihat di kementerian perdagangan. Ini tentu berbeda dengan Tifatul Sembiring dan Muhaimin Iskandar misalnya, menteri yang sering “bermasalah”, namun ternyata tidak bergeser. Posisi tawar Mari Elka juga tidak kalah dari dua pentolan partai ini, Mari Elka mewakili etnis tiongkok yang juga didukung oleh posisi dan pengaruh keluarga, terutama suaminya diKadin.

Namun tidak berapa lama, spekulasi pengrotasian Mari Elka Pangestu kemudian menjadi jelas. Ditunjukkan oleh kebijakan-kebijakan awal Gita Wirjawan, penggantinya. Tidak sampai sebulan, melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/M-DAG/PER/11/2011 Gita mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan ekspor bahan baku rotan ke luar negeri. Sebuah kebijakan yang disambut baik kalangan pengusaha dan menteri-menteri terkait.

Sepanjang memimpin, Mari memang banyak dikritik oleh kalangan pengusaha terutama meubel. Di bidang rotan, Mari berbeda pendapat dengan menteri lain dalam satu lapangan, seperti MS Hidayat Menteri Perindustrian, dan Zulkifli Hasan Menteri Kehutanan. Dengan Hidayat, perseteruan sudah menjadi konsumsi umum. Dalam sebuah kesempatan, bahkan Hidayat sempat mengungkapkan kepada media bahwa keakrabannya dengan Mari hanya sebatas menjaga kesan baik di depan presiden.

Terkait dengan revisi Permendag No.36/2009 tentang rotan, mengatasnamakan kepentingan petani, Mari ngotot untuk mempertahankan ekspor rotan yang menurutnya jika dihentikan akan mengurangi permintaan rotan kepada petani. Ditakutkan, belum siapnya industri meubel Indonesia untuk menampung rotan petani akan menyebabkan jatuhnya harga rotan, sehingga petani dirugikan.

Pendapat Mari Elka dibenarkan petani. Data asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia menunjukkan bahwa Industri Rotan di Indonesia baru mampu menyerap rotan para petani sebanyak 15-20 persen dari total produksi yang mencapai 300-400ribu ton per tahun. Jenis rotan yang terserap industri juga baru sekitar 8 jenis, dari 300 jenis rotan yang ada di negeri ini.

Di sisi lain, Menteri Perindustrian MS Hidayat yang menggarisbawahi potensi rotan sebagai potensi industri. Tanpa menyebut pro-pengusaha, menurut Hidayat ekspor bahan baku rotan adalah tindakan bunuh diri Indonesia atas potensi sumberdaya bangsa. Argumennya, harga ekspor rotan mentah termasuk rendah. Berbanding terbalik jika rotan tersebut diolah terlebih dahulu sehingga diekspor dalam bentuk meubel. Ia menuturkan satu kontainer rotan mentah harganya sekitar US$ 3000, namun setelah diolah menjadi produk mebel jadi kelas medium nilai jualnya menjadi Us$ 10.000.Buktinya, penghasilan dari ekspor rotan rotan terus menurun, dari 300 juta dollar pada tahun 2009 menjadi 138 juta pada tahun 2011.

Yang diuntungkan dari ekspor rotan, menurut Hidayat, adalah pengusaha-pengusaha industri rotan di luar negeri, terutama China yang menjadi tujuan utama ekspor rotan Indonesia. Saat penghasilan Indonesia sebagai penghasil rotan terus menurun, Industri meubel rotan di China justru sedang dalam puncak kejayaan. Menperdag dituduh tidak pro pengusaha lokal dan mendapatkan keuntungan “pribadi” dari ekspor baku rotan.

Sebagian pihak bahkan secara kasar menunjuk hidung Mari Elka Pangestu yang memang beretnis Tionghoa sebagai menteri pro-China. Bagi mereka permainan ekspor rotan adaah permainan mafia rotan yang langsung ditulangpunggungi oleh pengusaha china. Isu rasisme mulai menyeruak dalam selimut kabinet, sedangkan kenaikan pajak ekspor rotan seperti yang dilakukan pada masa menteri keuangan Sri Mulyani tidak lagi bisa menjadi solusi.

Dua menteri yang keras kepala, diikuti oleh isu rasis yang mulai naik ke permukaan. Hal ini juga yang memaksa presiden bertindak sehingga Mari Elka Pangestu harus bergeser lapak. Sebagai kepala suku sekaligus wasit, SBY secara tidak langsung memaksa Mari untuk mengalah dan memenangkan Hidayat.  Sebagian pihak menyebut ini adalah kemenangan pengusaha atas petani rotan.

Jika selama ini petani rotan bisa menjual bahan mentahnya ke china, saat ini mereka harus berebut ke pengusaha industri lokal yang sekarang berlimpah bahan baku. Akibatnya harga rotan jatuh, dan protes petani ada di seluruh wilayah budidaya rotan. Sisa produksi rotan menjadi “over-supplied” karena serapan industri rotan nasional yang masih terbatas tidak tahu hendak dikemanakan. Demonstrasi dan surat penolakan tidak hanya datang dari petani, tapi juga dari para kepala daerah yang merasa potensi mereka “dibuntungi” pemerintah pusat. Banyak para petani yang akhirnya gulung tikar.

Namun kondisi ini wajar untuk sebuah kebijakan drastis, apalagi telah disepakati oleh tiga kementerian terkait, yakni Perdagangan, Perindustrian, dan Kehutanan. Sebagai solusi, Hidayat mengusulkan untuk membuat gerakan pemakaian rotan dalam negeri. Para kementerian dibujuk untuk menggunakan meubel rotan di kantor, dan Menteri Pendidikan diajak bekerjasama untuk menggunakan rotan sebagai meubel di sekolah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pasar meubel lokal, sehingga permintaan berlipat dan industri lebih terakselerasi.

Sekarang menginjak bulan ketiga pasca penerbitan pelarangan ekspor rotan, kisruh masih belum berhenti. Saling tuduh dan saling me-mafia-kan kerap terlihat dalam perdebatan dimedia. Belakangan, pengusaha rotan sintetis disebut sebagai kambing hitam.Namun Hidayat sendiri percaya, kisruh ini hanya awal dari kemandirian rotan Indonesia, sampai investor datang dan membangun industri di Indonesia. Menarik untuk menunggu kepercayaan Menteri Hidayat, namun yang jelas sekarang memang petani menjadi korban.

20120207-@sipiliang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun