Siapa yang tidak tahu Kota Roma di Italia. Kota Abadi yang disebut pujangga Albius Tibullus ini sungguh menakjubkan! Seolah-olah kejayaan kota kuno di masa Romawi berdiri bersama dengan kehidupan modern. Reruntuhannya serasa hidup bersama dengan gerak kehidupan modern yang hadir bersama-sama di kota ini. Tentu saja saya beruntung karena pada tahun 2010 sampai dengan 2011 saya sempat berkunjung ke Ibu Kota Dunia, Roma.
Ketika saya di Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, Guru sekaligus pastor saya saat itu, (Alm) Rm. Ferdinandus Kuswardianto, Pr atau dikenal sebagai Romo Anto mengajarkan kami tentang Sejarah Gereja. Cara mengajar Rm. Anto saat itu luar biasa ketika dia bicara tentang Kota Vatican yang terletak di tengah Kota Roma yang luasnya hanya 44 hektar. Cara komunikasinya yang luar biasa, jujur menginspirasi saya untuk bermimpi berkunjung ke Kota Vatican dan Kota Roma.
Tulisan ini saya tidak bicara mengenai sejarah, arsitektur atau pun tempat wisata di Kota Roma dan Kota Vatican. Akan tetapi saya ingin merefleksikan di hari Paskah ini tentang bagian kecil di dalam Basilica Santo Petrus yaitu The Madonna della Piet atau dikenal sebagai La Piet.
Untuk masuk ke Basilika St. Petrus dari lapangan St. Petrus, kita akan melihat 5 pintu. Kelima pintu itu adalah Door of Death (Pintu Kematian), Door of Good and Evil (Pintu Kebaikan dan Keburukan), Filarete Door (Pintu St. Petrus), Door of the Sacraments (Pintu Sakramen) dan Holy Door atau Porta Sancta (Pintu Suci). Di antara kelima pintu tersebut, biasanya pintu masuk ke dalam Basilica St. Petrus melewati Pintu Sakramen. Tidak jauh dari Pintu Suci, kita akan melihat Chapel of the Pieta dan karya seni dari Michelangelo, La Piet.
Saya ingin merenungi di hari Paskah ini tentang Patung La Piet. Patung tersebut mengambil bagian Ketika Yesus yang sudah tidak bernyawa diturunkan dari salib. La Piet adalah salah satu dari tujuh kesedihan yang diterima oleh Bunda Maria.
Apa saja ketujuh kesedihan tersebut? Pertama, nubuat Simeon bahwa Yesus adalah Messiah. Kedua, pelarian ke Mesir, saat Herodes ingin mencari dan membunuh Yesus. Ketiga, mencari Yesus di Jerusalem, Ketika Bunda Maria mengetahui bahwa Yesus menghilang. Keempat, Bunda Maria bertemu Yesus ketika Yesus memanggul salibnya.Â
Kelima, berdiri di kaki salib. Keenam, saat  penyaliban dan Yesus diturunkan dari salib. Ketujuh, penguburan Yesus. La Piet adalah kesedihan keenam ketika Yesus diturunkan dari salib dan bunda Maria memangku Yesus saat tubuhnya mulai mendingin.
Ketika saya melihat La Piet saat itu, saya takjub bisa melihat langsung salah satu karya seni Michelangelo. Tentu saja saya bisa "pamer" ke teman-teman yang pernah Romo Anto ajarkan tentang sejarah gereja tapi belum pernah melihat langsung karya seni ini. Akan tetapi, Paskah hari ini tanggal 31 Maret 2024, saya melihat La Piet itu berbeda ketika saya sudah menjadi seorang ayah.
Ketika kita sudah menjadi orang tua, hidup kita tidak lagi dimulai ketika kita lahir. Akan tetapi kehidupan itu dimulai ketika anak kita lahir. Segala hal yang kita lakukan sebelumnya hanya kepada diri kita, menjadi kepada yang lain. Sebuah entitas yang sama sekali tidak kita kenal, yang hanya membawa data-data genetik tetapi mempunyai identitas yang berbeda dari diri kita, mempunyai jiwa yang lain. Entah bagaimana, seketika itu pusat hidup kita bukan lagi ke diri kita. Dari situ ketika kita mulai bekerja atau ketika kita ditanya tujuan kita, kita akan menjawab, demi anak dan keluarga.
Yesus, meski Dia anak Allah, meski Dia dikandung dari Roh Kudus, Dia tetap lahir dari seorang yang bernama Maria. Maria dan Yusuf ketika itu menjadi Ibu dan Ayah, menjadi orang tua dan seluruh kehidupannya yang hanya antara aku melebur bersama kelahiran Yesus. Di saat itu mereka akan melakukan apa pun demi anaknya bahkan siap menanggung semua penderitaan anak itu dan mati bersama dia. Inilah waktu ketika kita menjadi orang tua. Hidup kita bukan menjadi milik kita lagi.
Apa yang Maria rasakan ketika dia memangku tubuh Yesus yang mulai mendingin? Ia merasakan masa-masa ketika Yesus masih bayi, ketika itu ia menimang-nimang dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Ia merasakan bahwa kehidupan yang dimulai saat itu berakhir bersama Yesus. Itulah konsekuensi menjadi orang tua.
La Piet adalah waktu ketika Michaelangelo menangkap masa-masa sulit seseorang yang melihat anaknya tidak lagi bernyawa. Waktu ketika sebagai orang tua kita berjanji untuk menjaga dan melindunginya tetapi kita gagal. Waktu ketika kita berdoa, "Tuhan jangan pisahkan kami terlalu cepat" tetapi waktu dengan kejam merebut itu semua. Waktu ketika kita berdoa biarlah nyawaku lebih dulu diambil asal dia hidup, tetapi takdir berkata lain.
Potret La Piet inilah yang kita lihat diberbagai media dan surat kabar saat ini. Potret anak-anak di Gaza, Israel, Ukraina dan Russia yang meninggal karena kekerasan dan perang. Nyawa para tentara yang orang tuanya menunggu mereka untuk pulang. Nyawa itu direngut hanya karena orang-orang besar dan berkuasa tidak mau mengalah dan berdamai.
Paskah kali ini merupakan renungan untuk kita dan melihat kembali waktu-waktu kita sebagai orang tua. Apakah kita ingin melihat La Piet yang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H