Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan bisa menikmati hangatnya matahari di kepulauan Hawai’i atau menikmati piña colada di Pulau Grand Turk. Saya hanya bermimpi dan berharap jika suatu hari bisa berkeliling dunia.
Bermimpi dan berharap itu tidak akan pernah menjadi kenyataan jika saat itu saya tidak berani untuk membuat sebuah lompatan. Saya tidak yakin sebuah telepon berbahasa Inggris di hari minggu ternyata membawa begitu banyak perubahan dalam hidup saya sampai saat ini.
Apa yang terjadi jika saya menganggap telepon tersebut hanya gurauan atau penipuan? Apa yang terjadi jika saya tidak mendengarkan saran adik saat itu? Atau apa yang terjadi jika saya malas untuk datang? Jelas yang terjadi adalah saya tidak akan pernah berdiri di tengah-tengah Basilika St. Petrus, Vatican atau melihat kota suci Jerusalem dari atas Bukit Zaitun.
Saya tidak akan pernah bercerita tentang berbagai kisah perjalanan dan kehidupan di luar negeri jika saya tetap hidup dalam zona nyaman. Dengan membuat sebuah keputusan untuk melompat dan menghadapi perubahan inilah, saya bisa punya segudang pengalaman untuk dibagikan.
Zona nyaman itu memang sungguh aman akan tetapi lama kelamaan zona itu juga bisa berbahaya. Kita jadi takut untuk berkembang dan membuat sebuah perubahan jika kita sudah merasa berada di air yang tenang. Padahal, perubahan itu yang membuat manusia menjadi lebih maju dan berkembang. Seorang pelaut tidak akan pernah menjadi pelaut jika hanya berlayar di danau atau di sungai.
Seorang anak dalam tahapan belajar tentu akan mulai merangkak kemudian berjalan. Kalau Usain Bolt nyaman dalam kondisi merangkak, dia tidak akan pernah memegang rekor lari dunia di lintasan 100 dan 200 meter. Kita juga tidak akan pernah mendengar The Lightning Bolt yang sangat melegenda.
Saya percaya perubahan akan membuat hidup menjadi lebih berkembang. Jika saya menolak untuk melakukan perubahan maka saya tidak akan pernah belajar dan berkembang. Apa jadinya jika saya memilih untuk duduk nyaman di rumah ketimbang datang untuk wawancara saat itu? Tentu saya tidak akan pernah belajar seperti apa hospitality industry bahkan saya tidak akan mengklaim diri sebagai penjelajah dunia.
Apa jadinya jika saya sangat menikmati berkeliling dunia dan nyaman di atas kapal pesiar? Tentu saya tidak akan pernah mendapat gelar Magister Filsafat. Apa jadinya jika saya hanya menikmati kehidupan di kampus dan mendengarkan berbagai kuliah hebat tentang filsafat? Tentu tesis saya tidak akan pernah rampung atau saya akan terus kembali ke kampus dan duduk mendengarkan kuliah.
Suatu kali ketika saya berjuang menyelesaikan skripsi S1 di STF Driyarkara, seorang teman datang dan mengajak bicara. Ia sungguh mengapresiasi bahwa saya seorang mahasiswa yang mudah memahami pelajaran sekaligus bodoh. Saya bodoh karena ingin segera menyelesaikan kuliah. Padahal filsafat itu menurutnya harus diminati dan didalami dengan sungguh-sungguh dan membutuhkan waktu. Ia kemudian membandingkan saya dengan dirinya yang sungguh menyelami filsafat dan tidak terburu-buru untuk menyelesaikan kuliah.