Suatu kali di atas kapal pesiar Ms. Prinsendam, saya berbincang dengan salah satu penumpang. Matanya menerawang ke ujung cakrawala Laut Artic, sambil tersenyum dia berkata, “Arthur, ketika usia kamu semakin senja seperti saya, yang kamu lakukan hanya menikmati apa yang ada di sekelilingmu dan menyimpannya rapat dalam ingatan”. Kata yang terucap saat itu dalam dan memaksa saya untuk melihat kembali tujuan awal ketika memutuskan untuk melakukan perjalanan ini.
Ketika kita berhadapan dengan dunia yang berubah-ubah dan berpegang dengan konsep ‘kekinian itu keren’, kita lupa bahwa di situ ada sejarah yang membentuk ‘kekinian’ sampai kita menyebutnya ‘keren’. Saya melihat saat ini banyak sekali orang mengejar ‘kekinian’ agar selalu up to date dan tidak dituduh sebagai orang jadul.
Orang-orang ‘kekinian’ ini seperti buih ombak besar di tepian pantai, yang terlihat begitu buas menyerbu tepi pantai tetapi lambat laun mereka hilang diganti oleh gelombang yang lain.
Orang-orang yang menganggap dirinya ‘kekinian’ kadang merasa bahwa mereka punya kelas yang berbeda dengan orang-orang lain. Tidak heran masing-masing dari mereka saling bersaing dan merasa hebat dengan pencapaian yang diperoleh. Padahal, mereka itu seperti berada dalam gelombang besar yang saling berpacu menuju pantai. Semakin cepat berlari, semakin cepat waktunya tiba dan mereka kemudian melebur bersama sejarah.
Lautan yang membentang jauh di tepian pantai itulah sejarah. Masa lalu yang mengayun pelan dan jauh dari bibir pantai atau jauh dari ‘kekinian’. Meski jadul, mereka terlihat lebih abadi dan dikagumi dari masa ke masa. Lukisan The Mona Lisa di Museum Louvre contohnya, dikagumi dari masa ke masa dan jutaan orang berbondong-bondong datang mengagumi senyumannya. Entah kita berkunjung tahun 2001 atau tahun 2017, The Mona Lisa tetap objek yang sama dan yang abadi.
Lukisan jadul inilah dan berbagai kejadulan di dalamnya yang membuat Museum Louvre menjadi dikenal banyak orang sebagai museum terbesar di dunia.
Pada bagian ini, saya tidak menawarkan kiat-kiat khusus ketika melakukan perjalanan tetapi saya ingin membagi pengalaman bagaimana berhadapan dengan masa lalu.
Setelah kita melakukan perjalanan ke luar negeri atau berkunjung ke tempat-tempat istimewa, ada waktu tertentu kita merasa bahwa pengalaman itu seakan lari menjauh. Kita berusaha merekam sebanyak mungkin waktu-waktu itu sebelum ia hilang entah lewat kamera, video, dan lain-lain. Akhirnya yang kita ingat adalah sebuah foto dengan latar belakang tulisan “Waikiki Beach” atau sebuah foto dengan gunung-gunung salju dibelakangnya karena kita sibuk untuk mengirimkannya entah ke group WA atau ke Facebook.
Padahal makna sebuah perjalanan adalah kita menyelami yang ada di sekitar kita bukan berlomba-lomba mencapai tepian pantai setelah itu terlupakan begitu saja. Kita memang memanen banyak like dan komentar di wall facebook kita, akan tetapi…jejenggg..”emmm…sebenarnya Waikiki Beach itu apa yah”.
Ketika kita melakukan perjalanan hanya sekedar memuaskan ‘kekinian’ dan tampil up to date, kita akan kehilangan makna dalam perjalanan itu. Ketika kita pulang ke Indonesia, kita hanya membawa berita dan cerita tetapi terasa kering dan kita tidak akan pernah puas. Mengapa? Karena sebenarnya tujuan kita melakukan perjalanan itu untuk memuaskan tuntutan ‘kekinian’ bukan untuk menyelami pengalaman yang menjadi masa lalu.
Suatu kali di tahun 2014, saya melakukan perjalanan ke Belanda. Di sebuah kota kecil bernama Weijdenes di sebelah Utara Belanda, saya bersepeda melintas jalanan sepi dan damai. Sambil menghirup napas dalam, saya menikmati betapa indahnya waktu-waktu yang saya lewati di tempat ini. Saya saat itu tidak menikmati ‘kekinian’, tetapi saya menyadari saat-saat ketika pengalaman ini menjadi masa lalu detik demi detik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H