"Kita bisa mencoba, Daph."
"Rhea, dengarkan aku. Kalau kita tertangkap...."
"Tidak. Kamu yang dengarkan aku, Daph!" potong Rhea. "Kita akan pergi dari sini!"
"Kenapa kau lakukan ini?" tanya Daphrio.
"Kenapa? Kamu tanya kenapa?" suara Rhea meninggi. "Aku tidak bisa membiarkanmu mati setelah apa yang mereka lakukan padamu." Rhea menarik tangan Daphrio sehingga terlihat pergelangan tangannya yang penuh dengan bekas luka sayatan. Cairan berwarna putih kebiruan masih menetes dari bekas luka itu.
"Lihat tanganmu ini, Daph. Mereka mengambil darahmu setiap hari untuk menyembuhkan luka Zhephero Zheph. Lihat tanganmu ini, Daph. Mereka tidak pernah mau tahu rasanya disayat seperti ini. Mereka tidak menghargai nyawamu...."
"Banyak tabib yang mengalaminya, Rhea...." gumam Daphrio.
"Dan mereka mati...."
"Sudah menjadi nasibku begini...."
"Dan kau tidak mau mengubah nasib itu, Daph? Ingat, Rheon, kakakku, membantu kita. Dia yang memberitahuku kalau kamu ada di sini. Dia yang memberikan kunci ruangan ini. Daph, percayalah padaku. Kita bisa mengubah semua ini. Tanpa darahmu, jantung Zheph yang terkena panah itu akan membusuk. Dia akan mati."
"Zhephero Zheph itu ayahmu dan kamu juga seorang Zheph, Rhea Zheph."