Mohon tunggu...
Sintya Nur Rochmah
Sintya Nur Rochmah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

learning by doing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertahanan Kedaulatan: Tantangan Indonesia di Tengah Ketegangan Laut China Selatan

24 Mei 2024   11:05 Diperbarui: 24 Mei 2024   11:23 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Laut China Selatan, https://upscoverflow.com/south-china-sea-map/ 

Laut China Selatan yang kaya akan potensi sumber daya alam khususnya minyak bumi, gas alam, perikanan dan juga merupakan jalur perdagangan tersibuk karena letaknya sangat strategis yang menghubungkan antara Guang Zho, Hongkong, Manila dan Singapura dan juga akses yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Selat Malaka Indonesia. Pelayaran perdagangannya berharga  3,37 triliun dalam 1 tahun. Tak heran jika China melakukan klaim unilateral terhadap Laut China Selatan karena akan sangat menguntungkan bagi siapa yang memiliki wilayah tersebut.

Klaim unilateral yang dilakukan China pun menjadi konflik yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Berawal dari “Nine Dash Line” atau Sembilan Garis Putus yang dibuat secara sepihak oleh China untuk mengklaim territorial Laut China Selatan. Pada awalnya garis ini dibuat pada tahun 1929 saat China berada dalam kekuasaan Partai Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek.Kemunculan garis tersebut pertama kali terdapat pada peta China di tahun 1947 setelah Perang Dunia II. Sebelumnya, terdapat Eleven Dash Line ( Sebelas Garis Putus ) yang diperkenalakan, namun di tahun 1950 dua garis ditiadakan untuk memotong Teluk Tonkin yang digunakan sebagai tempat untuk warga China yang sedang bertempat di Vietnam Utara yang memiliki tujuan untuk melawan Vietnam Selatan.

China menggunakan “Historical Rights” untuk mengklaim bahwa peta tersebut sudah ada sejak zaman kuno. Sedangkan menurut UNCLOS ( United Nation Convention on the Law of the Sea ) 1982 pengaturan maritim mengacu pada ZEE ( Zona Ekonomi Ekslusif ) yang ditarik sejauh 200 mil dari garis dasar pantai, segala kekayaan sumber daya laut adalah milik negara pada territorial tersebut dan terdapat larangan untuk mengganggu kedaulatan negara lain. Dengan ini, “Nine Dash Line” tidak diakui secara hukum.

Hal yang dilakukan China tentu saja mengakibatkan sengketa wilayah,  berkonfrontasi terhadap kedaulatan negara-negara lain, hingga eksploitasi terhadap wilayah yang diklaim sepihak oleh China. Karena menganggu kedaulatan negara dan tidak sesuai dengan prinsip ZEE,  Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016 dan telah diputuskan bahwa “Nine Dash Line” tidak berdasar pada hukum dan tidak bisa diakui oleh negara lain. Namun, China mengabaikan putusan tersebut dan terus melakukan aktivitas pelayaran dan pengambilan sumber daya alam secara illegal yang mengganggu kedaulatan.

Sampailah pada China yang menuntut Indonesia pada 2021 untuk memberhentikan pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna Utara karena menganggap laut itu adalah teritorial China. Indonesia dengan tegas menolak tuntutan tersebut, karena secara hukum, Laut Natuna Utara merupakan ZEE milik Indonesia dibawah UNCLOS. Peraturan berkenaan tentang perairan Indonesia sendiri juga telah diatur pada UU No. 6 Tahun 1996 dan dapat diketahui mengenai wilayah perairan Indonesia, yang mana pada Pasal 12 Ayat (1) mengenai hak lintas damai, bahwasanya kapal asing yang melintas tidak boleh membahayakan kedamaian Indonesia dan melanggar ketentuan Konvensi maupun hukum laut yang telah diatur.

Aktivitas kapal China masih saja aktif dari tahun ke tahun memasuki ZEE milik Republik Indonesia. Pada 8 September 2022 Kapal China mengganggu nelayan lokal dengan memutus haluan kapal dan hamper mengakibatkan benturan. China menganggap bahwa Laut Natuna Utara merupakan bagian dari wilayahnya yang berdasar pada “Nine Dash Line”. China meneruskan aktivitasnya di Laut Natuna Utara berburu ikan, melakukan pengeboran bahkan mengadirkan Kapal Patroli Penjaga Pantai untuk menjaga keamanan terhadap aktivitasnya.

Peribahasa yang cocok untuk menggambarkan situasi konflik LCS adalah “Air tenang jangan disangka tiada buaya” yaitu walaupun nampaknya tenang, namun terdapat ancaman tersembunyi dan sewaktu-waktu China dapat melakukan ancaman berbahaya terhadap kedaulatan.

Maka dari itu, upaya yang bisa dilakukan oleh Indonesia dalam ketegangan konflik Laut China Selatan adalah :

Menjalin Kerja Sama Terhadap Negara-Negara yang Bersengketa dengan LCS

Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan negara yang memiliki wilayah di Laut China Selatan, mengadakan diskusi dan dialog agar mengerti bagaimana pandangan dan harapan dari tiap-tiap negara terhadap konflik wilayah maritim ini. Dengan upaya ini, dapat dihasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan antar negara dengan kepentingannya masing-masing. Upaya ini didukung oleh Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, bahwasanya perlu dilakukan dialog-dialog antar negara yang memiliki sengketa mengenai LCS dan didorong juga untuk diadakan workshop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun