Manusia sebagai makhluk yang rentan dan lemah, memiliki kapasitas untuk merasakan segala emosi, mulai dari kesedihan, kegundahan, hingga kesakitan akibat musibah. Sebagaimana takdirnya, kita sebagai manusia pasti akan diuji sepanjang kehidupan ini. Meski kita cenderung menginginkan kehidupan yang bebas dari penderitaan, kenyataannya adalah ujian merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup.
Setiap individu pasti akan menghadapi ujian dalam berbagai bentuknya. Ujian bisa datang dalam bentuk masalah kecil sehari-hari atau cobaan besar yang mengguncang fondasi kehidupan. Sejatinya, setiap ujian tersebut menjadi bagian dari dinamika kehidupan yang menuntut manusia untuk belajar, tumbuh, dan bertahan di tengah ketidakpastian. Penting bagi seorang muslim untuk mengakui bahwa ujian tersebut berasal dari Allah SWT. Kita harus senantiasa menghadapinya dengan kesabaran dan ketenangan hati.
Qadha merupakan sesuatu yang murni berasal dari Allah, bukan perbuatan manusia. Manusia tidak akan diminta pertanggungjawaban atas terjadinya qadha tersebut. Jika kita ridha ketika menerima suatu musibah tanpa merasa marah, niscaya qadha dari Allah tersebut akan menjadi penebus atas dosa-dosa seseorang dan dihapuskannya kesalahan.
Sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa menerapkan ajaran-ajaran dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Rasulullah mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur dan bersabar. Jika mendapatkan kesenangan, janganlah kita merasa sombong, sebab hal itu tidak lain adalah Allah SWT yang memberikan. Jika mendapatkan musibah pun, kita harus selalu ingat bahwa hal itu berasal dari Allah SWT. Kita harus bersabar, jangan sampai keluar kata-kata dari mulut kita yang mengarah pada ketidakridhaan kita terhadap musibah itu. Kadangkala dapat kita dengar seseorang mengatakan, “Apa gerangan yang telah aku lakukan sehingga aku ditimpa musibah seperti ini”, “Ada salah dan dosa apa aku, kenapa aku mendapatkan musibah ini, padahal aku tidak layak mendapatkannya”. Hal-hal tersebut bukan merupakan bentuk dari rasa sabar dalam menghadapi musibah.
Sabar yang sebenarnya adalah ketika kita mengatakan kebaikan dan melaksanakannya. Sabar yang sebenarnya adalah ketika kita siap menanggung resiko penderitaan ataupun ujian di jalan Allah. Sabar yang sebenarnya adalah sabar yang telah dijadikan Allah sebagai buah dari ketakwaan. Sabar seperti ini adalah sabar yang akan semakin menambah kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya, bukan malah semakin jauh. Kita harus mencontoh kesabaran para mukmin yang mulia seperti Bilal bin Rabah, Khabab, maupun keluarga Yasir. Mereka tidak kenal dengan mengeluh, yang ada ketika menerima ujian mereka semakin dekat ke jalan menuju surga karena kesabaran tersebut.
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id, dari Nabi Saw., beliau bersabda: "Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan, hingga duri yang menusuknya maka pasti musibah itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya.” (Mutafaq’alaih)
Hadits yang lain dari 'Aisyah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: "Satu duri atau yang lebih dari itu, yang menimpa seorang mukmin, maka pasti dengan duri itu Allah akan mengurangi kesalahannya." (Mutafaq'alaih)
Dalam hadits-hadits di atas disebutkan mengenai tertusuk duri. Hal tersebut menunjukkan bahwa jangankan musibah yang besar, hal kecil dan kadang dianggap sepele seperti tertusuk duri pun akan menghapuskan dosa jika kita bersabar menerimanya. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk bersedih berlarut-larut, jika hal kecil seperti itu saja dapat menggugurkan kesalahannya.
Menurut Subagyo (Subagyo, 2020) ada enam sikap yang bisa kita jadikan pedoman untuk menghadapi ujian tersebut, yaitu:
1. Sabar, sikap ini merupakan kunci penting dalam menyelesaikan masalah kehidupan, meningkatkan nilai diri seseorang, mencerminkan penerimaan takdir yang positif dari Allah, memberikan dampak positif bagi siapa pun yang menerapkannya.
2. Semakin beriman, sebab iman adalah pondasi hidup seorang Muslim. Ujian hidup merupakan sarana Allah untuk menguji dan memperkuat iman seorang Muslim, yang seharusnya meningkatkan keimanan melalui amal dan ibadah sebagai wujud kasih sayang-Nya.
3. Mengingat Allah Ta'ala (berdzikir), tidak hanya melapangkan hati, namun juga memberikan nutrisi kehidupan ke seluruh tubuh, seperti dalam shalat, sehingga kehidupan terasa ringan.
4. Ridha dan berhusnudzan atas ketetapan Allah.
5. Introspeksi mencari solusi. Introspeksi diri pada saat ujian datang memungkinkan kita menilai amal ibadah dan beristighfar kepada Allah, juga meminta maaf kepada makhluk hidup yang terkena kesalahan.
6. Berikhtiar mencari solusi. Mencari solusi adalah kunci saat menghadapi masalah, yang dapat ditemukan melalui muhasabah, upaya yang halal, kemandirian, meminta saran, serta terutama memohon petunjuk serta tawakal kepada Allah melalui ibadah dan munajat.
Begitulah kiranya sikap kita sebagai muslim dalam menghadapi musibah maupun ujian yang melanda kehidupan kita. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis:
Amanda Sintyaningrum & Arila Nur Rochman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H