Mohon tunggu...
Sintong Silaban
Sintong Silaban Mohon Tunggu... profesional -

Berkeinginan terus membaca dan menulis selama ada di dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kejahatan Pemilu di Era Reformasi Lebih Masif dari Pemilu Orde Baru

30 Maret 2014   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1987, ketika hendak menylesaikan studi di fakultas hukum USU, saya menulis skripsi berjudul "Tindak Pidana Pemilu" dengan meneliti pelaksanaan pemilu 1987 di Sumatera Utara ditinjau dari segi tindak pidana pemilu. Hasil penelitian saya waktu, bahwa pada sebagian besar tahap pelaksanaan pemilu banyak diwarnai dengan pelanggaran UU yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan pemilu. Antara lain, penggiringan bahkan pemaksaan masyarakat untuk memilih organisasi peserta pemilu tertentu,  seseorang memilih lebih dari satu kali, seorang pemilih memberikan suara di TPS dengan kartu pemilih bukan atas namanya, penghilangan suara pemilih dengan banyak modus (kertas suara dirusak sehingga dianggap batal, kertas suara bahkan kotaknya dibuang, yang paling fatal hasil pemilihan tidak dihitung dan langsung diumumkan bahwa di satu kecamatan misalnya 100% memilih partai tertentu).  Kesimpulan saya waktu itu, bahwa sangat banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan pemilu, dan sebagian besar pelanggaran itu dilakukan orang-orang GOLKAR. Ketika skrispsi saya itu hendak diterbitkan di Jakarta tahun 1992 oleh Pustaka Sinar Harapan, saya menambahkan data dan kesimpulan, bahwa pada semua pemilu di zaman Orde Baru penuh dengan kecurangan dan kejahatan, dan sebagian besar dilakukan secara sistematis oleh GOLKAR. Pendapat saya dikuatkan oleh Sabam Sirait, politisi PDI (sekarang politisi PDIP) yang menulis kata pengantar atas penerbitan buku tersebut.

Setelah Era Reformasi 1998 (dengan Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama Era Reformasi), besar harapan saya dan tentu harapan banyak orang, bahwa penyelenggaraan pemilu akan lebih baik, dalam arti lebih bersih, lebih jujur, dan lebih adil. Artinya, kecurangan dan kejahatan pemilu (perbuatan yang nyata-nyata melanggar ketentuan pemilu) akan jauh berkurang. Harapan itu tidak berlebihan, karena rezim yang otoriter yang dianggap otak dari kecurangan dan kejahatan pemilu sudah tumbang, apalagi dengan dibentuknya KPU yang komisionernya diseleksi secara ketat, demikian pula lembaga pengawas pemilu mulai dari pusat sampai ke daerah.

Tetapi siapa sangka, bahwa pemilu Era Reformasi (kecuali Pemilu 1999) sangat buruk, bahkan secara pribadi saya berpendapat jauh lebih buruk dari pemilu di zaman Orde Baru. Dari segi sistem, Pemilu di Era Reformasi memang lebih ideal, karena rakyat memilih secara langsung wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, dan memilih langsung Presiden/Wakil Presiden serta kepala daerah provinsi, kabupaten/kotamadya. Sistem ini lebih mencerminkan makna kedaulatan rakyat ketimbang sistem pemilu Orde Baru. Namun justru sistem yang baru inilah, entah karena apa (akan saya bahas dalam tulisan lain), pemilu di Era Reformasi menjadi sangat buruk, penuh dengan kejahatan (menabrak pasal-pasal tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu).

Kejahatan pemilu apa yang terjadi pada pemilu-pemilu Era Reformasi sehingga dianggab lebih buruk dari pemilu Orde Baru? Berikut ini fakta-fakta yang dengan mudah kita saksikan pada pileg, antara lain:

1. Sebagian besar caleg DPRD I, II, dan DPR-RI mengeluarkan biaya yang sangat besar sejak resmi menjadi caleg sampai hari pemungutan suara. Biaya yang dikeluarkan, sebagian besar untuk: (1) uang tanda, diberikan sebagai tanda perkenalan antara caleg dengan calon pemilih -- caleg memberi makan sekelompok orang di wilayah tertentu dan/atau membagi-bagi uang transport atau uang apalah namanya -- ini belum mengikat, masih pra-mengikat dan jumlahnya sekitar Rp. 20.000,- s.d. Rp. 50.000,- per orang;  (2) uang pengikat, diberikan kepada calon pemilih untuk mengikat supaya suaranya dalam pemilu diberikan kepada caleg tertentu. Uang ini biasanya diberikan oleh anggota tim sukses kepada calon pemilih menjelang hari pemungutan suara, bahkan pada hari pemungutan suara, jumlahnya berkisar Rp. 100.000,- s.d. Rp. 200.000,- per orang (penerima uang akan dicatat namanya dan terikat untuk memberi suara pada caleg tertentu, dan jika berkhianat berpeluang ketahuan dan uang yang diterima ditagih kembali); (3) selain dua macam uang itu, masih ada bentuk-bentuk pemberian uang oleh caleg kepada calon pemilih yang diharapkan memberi suara kepadanya, misalnya sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah, sumbangan untuk pengobatan orang sakit, dll. (perbuatan ini termasuk kategori kejahatan pemilu, melanggar pasal 301 UU Pemilu, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp. 48 juta. Pelaku kejahatan di sini atau berdasarkan UU Pemilu  adalah si caleg dan anggota TS-nya. Namun berdasarkan ketentuan tentang pidana suap, penerima uang dari caleg pun dapat diproses hukum sebagai penerima suap).

2. Sama seperti pada pemilu Orde Baru, pada pemilu Era Reformasi ini pun tetap banyak terjadi kejahatan pemilu, seperti: memberi suara lebih dari 1 kali, memberi suara dengan menggunakan kartu pemilih yang bukan atas namanya sendiri (melanggar pasal  310 UU Pemilu, dengan ancaman hukum penjara maksimal 1 tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp. 18 juta).

3. Mengalihkan suara pemilih (dengan menghilangkan suara yang memilih caleg tertentu dan menambahkan suara pada caleg lain), mengisi surat suara kosong dan menambahkannya pada caleg tertentu -- ini jenis kejahatan pemilu yang sangat fatal karena dilakukan atas kerja sama caleg dengan petugas pemilihan, yang dapat melibatkan saksi-saksi dan pengawas pemilu -- bisa terjadi di TPS, panitia pemilihan di kecamatan, bahkan sampai KPUD. Si caleg pasti mengeluarkan biaya yang besar untuk terjadinya kejahatan ini, bahkan jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara. Berbeda dengan no. 1 dan 2, yang ketiga ini tidak kelihatan menyolok dan hanya dilakukan sebagian kecil caleg dan hampir pasti si caleg menjadi pemenang, sehingga selama ini tidak pernah terungkap masalahnya. (melanggar beberapa pasal UU Pemilu, baik larangan bagi petugas pemilu maupun pihak caleg, dan jelas ini adalah kejahatan).

Berbagai macam kejahatan pemilu juga terjadi pada pelaksanaan Pemilukada, bahkan dapat dikatakan intensitas kejahatan pemilu yang bernuanda money politic pada Pemilukada lebih masif daripada Pemilu legislatif. Boleh dikatakan, dalam Pemilukada hampir semua calon Gubernur, Bupati, Walikota melakukan money politic, yang berarti memberi uang kepada calon pemilih agar memberi suara kepadanya. Bedanya satu sama lain hanya jumlah uang yang diberikan kepada calon pemilih. Itu sebabnya, dalam Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati misalnya, kita mendengar bahwa satu pasangan bisa mengeluarkan biaya dari Rp. 20 milyar sampai Rp. 40 milyar. Ini kejahatan pemilu dengan ancaman hukuman penjara dan denda bagi pelaku, yakni calon Gubernur, Bupati, Walikota beserta TS-TS-nya. Penerima uang (calon pemilih) juga dapat dikategorikan penerima suap dan diancam dengan hukuman pidana dan denda.

Dalam Pilpres selama ini, apakah ada terjadi kejahatan pemilu? Sudah pasti ada. Memilih lebih dari satu kali pasti banyak, memilih dengan menggunakan nama orang lain juga pasti ada. Pemberian uang, pemberian janji-janji berupa uang supaya calon pemilih memberikan suara kepada pasangan capres/cawapres tertentu pasti ada dan banyak. Jumlah uang dan cara pemberiannya kepada pemilih memang berbeda antara Pilpres dan Pemilukada dan Pileg. Monoey politic di Pileg dan Pemilukada lebih nyata dan intens dibanding pada Pilpres.

Kita patut merasa miris dan sangat prihatin dewasa ini melihat perilaku caleg, calon kepada daerah dan calon pemilih. Di pikiran hampir semua caleg dan calon kepala daerah, harus disediakan banyak uang untuk mendapatkan suara. Semakin banyak uang yang digelontorkan, semakin besar peluang mendapat suara yang lebih banyak. Kalau ditanya, adakah  anggota legislatif sekarang ini (mulai DPRD II, I, dan DPR-RI) yang sama sekali tidak mengeluarkan uang untuk "membeli suara" pada pemilu lalu? Saya tidak yakin ada 1 orang pun yang berani tunjuk tangan.

Di pihak lain, pada masyarakat pemilih, sepertinya sudah menggejala pandangan bahwa masa kampanye pileg dan pemilukada adalah masa bagi-bagi uang. Kalau caleg, calon gubernur atau bupati atau TS-nya yang datang, itu hanya direspon kalau memberi uang atau menjanjikan memberi uang, paling tidak memberi makan dan sebagainya. Caleg miskin atau calon kepala daerah miskin akan dijauhi, kecuali si caleg atau calon kepala daerah itu sangat istimewa dan idola rakyat atau diyakini akan membawa kebaikan.

Yang sangat memprihatikan, bahwa kebanyakan caleg dan calon kepala daerah sudah menganggap membagi-bagi uang ke rakyat itu, dan rakyat menganggap bahwa menerima uang dari caleg dan calon kepala daerah itu BUKAN KEJAHATAN, bahkan bukan sesuatu yang salah. Yang aneh lagi, Polisi, KPU, Bawaslu, entah karena merasa tidak berdaya, sudah tidak menganggab pasal 301 dan pasal 310 UU Pemilu tadi sebagai ketentuan yang harus ditegakkan.

Sekarang ini, saat kita mau mengikuti pileg dan Pilpres, dan mungkin pemilukada-pemilukada, kita sudah dapat melihat indikasi-indikasi terjadinya dan akan terjadinya kejahatan pemilu seperti yang lalu-lalu. Dan tidak ada tanda-tanda bahwa KPU, Bawaslu, kepolisian, dan pemerintah akan melakukan perbaikan. Malah, semua pihak sepertinya sudah mau siap-siap (bahkan sudah banyak yang mulai melakukan) kejahatan pemilu berupa: membagi-bagi uang, dan sudah banyak rakyat Indonesia saat ini yang tertawa-tertiwi menikmati uang kejahatan pemilu dan tidak sadar uang yang diterimanya itu adalah uang kejahatan.

Berdasarkan uraian saya di atas, kelirukah saya, berlebihankah saya kalau mengatakan KEJAHATAN PEMILU ERA REFORMASI LEBIH MASIF DIBANDING PEMILU ORDE BARU? Di Orde Baru, kejahatan pemilu itu hampir semuanya dilakukan sekelompok: Golkar, itupun tersistem. Di era Reformasi, hampir semua kelompok, hampir semua caleg/calon kepala daerah, hampir semua rakyat terlibat kejahatan pemilu. Anehnya, hampir semuanya menganggap bahwa kejahatan yang dilakukannya (yang dicantumkan dalam UU) bukan kejahatan.  Hampir tertawa saya melihat di acara sebuah televisi baru-baru ini, Bawaslu memprolamirkan Pemilu 2014 akan menjadi pemilu yang lebih baik, lebih aman, lebih jujur, dan lebih adil. Saya tidak mampu menahan keinginan untuk segera mengganti chanel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun