Pemilu Tahun 1999, PDIP menang dengan peraihan suara di atas 30%, tetapi kemudian dalam pemilihan presiden (waktu itu masih dilakukan oleh MPR), jagoan PDIP: Megawati kalah dari Gus Dur. Dalam pemilihan Wakil Presiden, Mega akhirnya terpilih, lalu kemudian menjadi Presiden setelah Gus Dur dilengserkan MPR di tengah jalan.
Pada Pileg 2004, meskipun Mega Presiden, tetapi PDIP hanya mampu meraih 18% suara pemilih dan berada di bawah Partai Golkar. Dalam Pilpres 2004, Mega kalah dari SBY. Pada pileg 2009, dimana posisi PDIP sebagai partai oposisi kembali mengalami penurunan dalam peraihan suara, hanya 14%, berada di urutan ketiga setelah Demokrat dan Golkar. Lalu di Pilpres 2009, Mega yang dicalonkan PDIP dan beberapa partai kembali kalah terhadap SBY.
Jika dikaji kekalahan-kekalahan PDIP dan Megawati, sebenarnya tidak terlepas dari kelemahan strategi dan manajemen PDIP ditambah dengan adanya arogansi sebagian pengurus PDIP. Pada pemilihan presiden 1999, jelas Megawati dan PDIP kalah strategi dengan Amien Rais Cs yang membentuk poros tengah.
Penurunan suara PDIP dalam Pileg 2004 dan kalah dari Golkar jelas sekali menunjukkan kelemahan Megawati sebagai pimpinan partai dan kelemahan pengurus PDIP. Dengan Megawati sebagai Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, harusnya PDIP lebih kokoh dan berpengaruh. Nyatanya tidak, malahan di periode ini banyak elit PDIP yang tersungkut korupsi. Â Lalu ada sikap arogan beberapa petinggi partai.
Kekalahan Mega dari SBY pada Pilpres 2004 pun jelas menunjukkan kelemahan strategi dan manajemen PDIP. Seperti diketahui SBY adalah mantan menteri, bawahan Mega, yang hanya mempersiapkan diri beberapa saat menjelang Pilpres.
5 tahun menjadi partai oposisi, ternyata tidak cukup membuat PDIP lebih matang dan siap bertanding dalam pemilu. Dalam pileg 2009, malah PDIP hanya meraih 14% suara pemilih dan berada di urutan ke 3. Dalam Pilpres, sekali lagi Mega kalah dari SBY. Kenapa kalah? Ya karena Megawati dan PDIP tidak banyak membenahi diri, tetap kuno dalam manajemen dan kepemimpinan.
Menjelang Pileg 2014, setelah 10 tahun sebagai partai oposisi, besar harapan PDIP bakal menang besar dalam pileg yang digelar 9 April lalu. Perkiraan lembaga survey, PDIP bakal meraih kemenangan dengan peraihan suara di atas 25%. Apalagi Capres yang bakal diusung PDIP: Jokowi sangat difavoritkan, dan itu diduga akan membawa "Jokowi effect" yang melejitkan perolehan suara PDIP.
Tetapi, apa yang terjadi dari hasil hitungan cepat Pileg kemarin, raihan suara PDIP jauh di bawah target. Meskipun di urutan pertama, tetapi tidak seperti diperkirakan, hanya 19%. APA ARTINYA INI? Menurut saya, PDIP masih belum banyak kemajuan sebagai partai politik. Â PDIP tidak sukses dalam pileg 2014. Â Ibarat dalam permainan sepakbola, PDIP tidak mampu mengkonversi peluang mencetak gol yang sedemikian banyak menjadi gol. Sebab, banyak hal sebetulnya yang menguntungkan PDIP, sehingga layak meraih suara besar (setidaknya 30%) dalam pileg kemarin, seperti: sudah 10 tahun oposisi, artinya selalu dalam posisi menyerang terus; ideologi Bung Karno masih laku dijual; Partai Demokrat lagi terjun bebas, pendukungnya siap hengkang; partai Golkar tidak begitu solid; banyak kader PDIP di daerah (sebagai kepala daerah) berprestasi populer; dan terakhir salah seorang kadernya Jokowi diunggulkan sebagai Capres, konon sudah me-Nusantara.
Banyak pembahasan tentang ketidakberhasilan PDIP meraih target suara sampai 25%. Apapun itu, yang pasti PDIP belum dewasa betul sebagai partai politik, kepemimpinan dan manajemennya masih lemah. HAL INI SUNGGUH-SUNGGUH SUATU PERINGATAN (WARNING) BAGI ELIT PDIP. Jangan sampai terjadi, Capres PDIP Jokowi hanya menang dalam survey, tidak dalam realitas pertarungan politik bernama: Pilpres.
Mengapa Mega tidak Presiden tahun 1999, mengapa PDIP merosot dalam Pileg 2004 dan Mega kalah dari SBY pada Pilpres 2004 (sementara Mega adalah presiden patahana), mengapa PDIP merosot lagi dalam pileg 2009 dan  Mega kalah lagi melawan SBY tahun 2009 (sementara PDIP dan Mega sudah opsisi full selama 5 tahun), dan mengapa dalam pileg kemarin PDIP hanya mampu meraih 19% suara (sementara sudah 10 tahun oposisi full dan peluang meraih suara 30% ada, dan ditargetkan pun demikian)?
Menjelang Pilpres tgl 9 Juli 2014 ini, Megawati dan seluruh jajaran elit PDIP harus merenung ulang, apakah kepemimpinan dan manajemen partai selama ini sudah baik? Apakah strategi politik PDIP selama ini sudah baik? Â Apakah komunikasi politik yang dikembangkan dengan partai lain sudah baik?
Jokowi adalah aset PDIP dan aset bangsa yang sangat berharga, Jokowi adalah pemimpin yang pantas memimpin negara ini untuk berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, kalau PDIP "salah" strategi dalam menghadapi Pilpres 2014, bisa-bisa PDIP kembali gigit jari dan Indonesia kehilangan kesempatan dipimpin oleh seorang pemimpin yang sangat baik, sangat tulus, dan pekerja keras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H