Mohon tunggu...
Yanuar Sinto Anggoro
Yanuar Sinto Anggoro Mohon Tunggu... -

biasa aja ah..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jamu Siapa yang Membawa?

29 Januari 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamu, berdasarkan kesepakatan yang saat ini dipakai dalam Permenkes No 3 tahun 2010 tentang saintifikasi jamu, didefinisikan sebagai obat tradisional Indonesia. Masih dalam Permenkes yang sama, obat tradisional didefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai obat tradisional Indonesia, Jamu dapat disejajarkan dengan Traditional Chinese Medicine (TCM) dan Ayurveda sebagai obat tradisional Cina dan India. Hal yang menjadi menarik adalah penggunaannya di masyarakat bahwa jamu jauh tertinggal dari TCM dan Ayurveda, bahkan praktek-praktek TCM di Indonesia pun mulai marak menggusur pasar pengobat tradisional asli Indonesia yang menggunakan ramuan jamu godogan atau jamu cekok.

Berkembangnya Traditional Chinese Medicine sebagai pengobatan yang relevan digunakan saat ini tidak lepas dari riset-riset yang massive dilakukan oleh praktisi akademisi di china. Pendidikan formal tentang pengobatan tradisional china telah ada melalui perguruan tinggi yang khusus mengkaji tentang TCM. Pengobatan tradisional Cina diteliti tanpa memaksakannya untuk dapat diterima dunia modern, namun mengkaji tentang relevansi bentuk tradisional ini untuk terapi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lain halnya dengan di Indonesia dimana jamu dikaji dengan terlalu memaksakannya menjadi obat modern. Mayoritas penelitian tentang jamu selalu dikaji tentang arahnya untuk dapat digunakan oleh profesional kesehatan dalam hal ini dokter, dokter gigi, dan apoteker secara formal. Sediaan yang ada pun terlalu dipaksakan untuk menjadi sediaan farmasi modern seperti tablet ataupun kapsul. Memang pada tahun 2004 di Universitas Gadjah Mada telah dibuka Program Studi S1 tentang Obat Alami, namun ketika lulus S1 title yang disandangnya adalah S.Farm. dan "dianjurkan" untuk melanjutkan untuk kuliah Program Profesi Apoteker selama satu tahun. Demikianlah pendidikan saya sebagai lulusan terakhir dari program studi Obat Alami yang dikonversi menjadi peminatan atas Program Studi Ilmu Farmasi yang dapat dipilih mulai semester 4. Apabila di Cina dapat meluluskan tenaga kesehatan "khusus" pengobatan tradisional agaknya UGM masih kurang pede untuk meluluskan Sarjana kesehatan "khusus" pengobatan tradisional sehingga harus ngeper kembali kepada induknya yaitu Farmasi dan mengkerucut kembali kepada Farmasi Modern/Barat. Akibatnya lulusan S1 Obat Alami itu sangat sedikit yang concern dalam bidang pengobatan tradisional. Saya sendiri saat ini, maaf, menjadi apoteker kontrak di Puskesmas. Saya rasa Indonesia harus mulai belajar mengejar ketertinggalan atas China dan India dalam hal pengobatan tradisional.

Adanya saintifikasi jamu saat ini seharusnya dapat menjadi peluang atas berkembangnya jamu. Harapan baru muncul ketika implementasi dari Permenkes No 3 tahun 2010 ini adalah dibukanya klinik Hortus Medicus oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) di Tawangmangu. Pada klinik ini pasien dilayani dengan ramuan jamu godogan sehingga sediaan yang digunakan tidak lagi dipaksakan dalam bentuk sediaan modern sehingga khasiat dan manfaat yang diteliti merupakan khasanah yang diturunkan nenek moyang. Semoga klinik Hortus Medicus segera menjadi inspirasi atas berdirinya klinik serupa dimana profesional kesehatan melayani pasien dengan Jamu dengan "wujud" jamu yang sesungguhnya. Begitu pun dengan saya, semoga dapat segera membuka klinik jamu yang menjadi bagian dari proses saintifikasi jamu. Sehingga apabila memang saat ini belum ada perguruan tinggi yang "pede" untuk menelurkan profesional kesehatan "khusus" jamu, maka biarlah Permenkes ini menjadi pintu untuk profesional kesehatan seperti dokter, dokter gigi, dan apoteker untuk membawa jamu. :D

-Yanuar Sinto Anggoro-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun